![]() |
| Kampung Batik Kauman Solo |
SOLO
– Menurut Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak: Radikalisme
Rakyat Di Jawa, 1912-1926 (Pustaka Utama Grafiti, 1997), Surakarta
merupakan pusat utama industri batik yang terus mendominasi pasar
lokal dan nasional pada kurun 1859 – 1910-an. Seperti diketahui, pada masa
itu batik menjadi semacam pakaian wajib bagi pribumi, mulai dari
jarik, sarung, dodot, iket, dan selendang.
Perdagangan batik di Kauman,
salah satu kelurahan sentra batik di Kota Surakarta, yang bermula
dari pola-pola transaksi kecil pun berkembang sampai ke luar kota. Kejayaan
bisnis batik tulis dan batik cap di Kauman itu
menyisakan jejak sejarah berupa rumah-rumah megah berarsitektur Jawa, Indies,
dan Art Deco yang dibangun pada 1800 – 1950-an.
Namun,
memasuki awal 1980-an, usaha batik tradisional mulai kolaps
karena batik hasil teknologi printing, acap disebut batik China,
mulai merambah pasaran Indonesia. Akibat kalah bersaing dengan batik printing yang
lebih murah dan diproduksi massal dalam waktu singkat, banyak pengusaha batik di Kauman pada
saat itu yang gulung tikar.
“Printing
masuk, batik tulis jatuh. Batik cap mati juga. Yo
agek saiki ki kok yo (baru terjadi akhir-akhir ini ya),” kata Bu
Mustangidi, 88 tahun, salah satu mantan saudagar batik di Kauman saat
ditemui Tempo di rumahnya pada Kamis petang, 20 September
2018.
Menurut
Bendahara I Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, Muhammad Soim,
masa suram batik Kauman berlanjut sampai sekitar 2006. Lantaran
bisnis batik tradisional dinilai sudah tidak bisa menjamin kehidupan
di masa depan, sebagian anak saudagar batik di Kauman lebih
memilih berkarir di bidang lain. Tidak sedikit pula yang merantau ke luar kota.
“Bisa
dibilang generasi batik di Kauman saat itu hampir
terputus,” kata Soim saat ditemui di kantor Syarikat
Dagang Kauman (SDK), pada Jumat, 21 September 2018. Walhasil,
rumah-rumah kuno nan megah di Kauman, yang dulunya sebagai tempat
produksi batik tradisional, mulai ditinggalkan.
Karena
mahalnya biaya perawatan serta tingginya tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di
tengah kota, sebagian pemilik rumah kuno di Kauman, Kecamatan Pasar
Kliwon, Kota Surakarta, terpaksa menjual aset yang sarat nilai sejarah itu.
“Satu rumah itu ahli warisnya banyak, mayoritas berdomisili di luar kota. Biaya
perawatan rumah kuno kan tidak murah dan tarif PBB juga naik terus tiap tahun.
Kalau rumah tidak terawat kan sayang. Solusinya ya dijual,” kata Soim.
Berawal
dari kegelisahan akan maraknya penjualan rumah kuno itulah Paguyuban Kampung
Wisata Batik Kauman dibentuk pada 2006. Paguyuban tersebut
diresmikan dengan pelantikan kepengurusan pada 7 April 2006. Meski Kauman memiliki
banyak potensi wisata, paguyuban sengaja mengusung batik sebagai ikon
utama dalam upaya memberdayakan kampung yang berumur lebih dari 2,5 abad itu.
Sebab, ibarat dua sisi mata uang, Kauman dan batik adalah
dua hal yang tak dapat dipisahkan.
*
Sejarah
mencatat, Kauman sama tuanya dengan Masjid Agung Surakarta yang
dibangun Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) III, raja Keraton Kasunanan Surakarta,
pada 1757. Setelah membangun masjid sebagai pusat dakwah Islam bagi keraton,
raja sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah (pemimpin negara dan agama demi
rakyat yang damai dan sejahtera) juga mengangkat Penghulu atau ahli agama
sekaligus penasehat raja yang diberi hak pakai atas sebidang tanah di utara
Masjid Agung.
Seiring
perkembangannya, tanah di sekitar Masjid Agung itu ditempati para abdi dalem pamethakan (dari
kata dasar pethak atau putih, simbol umat atau kaum muslim)
yang bertugas di bidang keagamaan dan kemasjidan. Oleh keraton, sebagaimana
ditulis Raden Mas Sajid Dalam Babad Sala (1984), tanah
tersebut diberi nama Perkauman (tempat tinggal para kaum) yang kemudian
menjadi Kauman.
Awalnya
warga Kauman hanya bekerja sebagai abdi dalem ulama. Selain mendapat
gaji dan jaminan hidup dari keraton, para abdi dalem itu juga diajarkan
keahlian membatik yang kemudian merangsang tumbuhnya iklim wirausaha di Kauman.
Meski hampir semua daerah di Indonesia juga mengembangkan produksi batik, batik Kauman tetap
laris di pasaran karena mempertahankan ciri khas motif pakem tradisional
keraton sampai sekarang.
*
Dalam
buku Kauman, Religi, Seni & Tradisi disebutkan bahwa
Surakarta pada 1915 memiliki 225 tempat produksi batik dengan 3.608
orang buruh. Mengutip Encyclopaedie van Nederllandsch/Indie, buku
yang diterbitkan Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman pada 2007
itu menyebutkan, sebagai salah satu pusat produksi sekaligus pusat
perdagangan batik di Surakarta, Kauman pada masa itu
mengkhususkan pada produksi batik tulis halus.
“Sedangkan
pada 2006, dari hasil survei kami, tinggal sekitar enam atau delapan keluarga
di Kauman yang masih bertahan memproduksi batik,” kata Soim,
salah satu penyusun buku Kauman, Religi, Seni & Tradisi. Seiring
dengan gencarnya promosi yang dilakukan Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman,
produsen batik di Kauman pun berangsur bangkit kembali.
Sebelum Kauman menjadi
kampung wisata batik, Soim mengatakan, usaha batik yang masih
bertahan hanya terpusat di Jalan K.H Hasyim Ashari, Jalan Trisula, dan di
pinggir jalan raya yang mudah diakses pembeli. “Sekarang sampai masuk ke
gang-gang,” kata Soim. Dari hasil pendataan pada 3 - 4 tahun lalu, pelaku
usaha batik di Kauman jumlahnya sudah mencapai di atas 100
orang.
Dari
jumlah itu, sekitar 50 orang di antaranya tergabung dalam Syarikat Dagang Kauman (SDK),
koperasi serba usaha yang didirikan pada 2012. Selain melayani simpan pinjam,
pengadaan bahan baku dan peralatan membatik, SDK juga memiliki dua showroom bersama
di lokasi yang strategis untuk menampung produk anggotanya yang sebagian tidak
memiliki toko atau tokonya berada di gang kecil.
Tidak
semua toko atau unit usaha batik di Kauman bergabung di
paguyuban dan koperasi. Sebab, paguyuban dan koperasi menerapkan sejumlah
syarat khusus seperti anggotanya harus ber-KTP dan berdomisili di Kauman.
Sejak kampung wisata batik Kauman mulai menggeliat, Soim
berujar, banyak orang dari luar yang berinvestasi. Para pemilik modal itu
bekerja sama dengan pemilik rumah-rumah kuno, yang semula dibiarkan kosong dan
tidak terawat, untuk membuka toko.
“Kami
justru senang dengan masuknya investasi, kan bisa bermanfat untuk rumah-rumah
kuno itu, sesuai dengan tujuan awal kami mendirikan kampung wisata batik. Manggon
tengah kutho, nggone ombo, larang lho PBB-ne (tinggal di tengah kota,
rumahnya luas, mahal lho pajaknya),” ujar Soim.
Ihwal
berapa kain batik yang diproduksi dari Kauman tiap hari,
Soim mengaku tidak bisa memastikan. Sebab, mayoritas pelaku usaha batik di Kauman memiliki
kantong-kantong perajin batik sendiri yang tersebar di kawasan Solo
Raya, eks-Karesidenan Surakarta. “Rumah-rumah di Kaumanlebih banyak
dimanfaatkan untuk toko. Masih ada juga beberapa yang masih memproduksi batik di
sini, tapi hanya yang menggunakan pewarnaan alam,” kata Soim.
.png)
By
02.32


Bukanya kebangkitan pengusaha batik kauman dimulai tahun 1995-2000 ya dengan dibantu oleh pemkot surakarta??
BalasHapus