google-site-verification: google81f2ee356101f507.html Jatuh Bangun Batik Kauman Solo - Buruh Nulis
Open top menu
Kamis, 10 Januari 2019

Kampung Batik Kauman Solo

SOLO – Menurut Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa, 1912-1926 (Pustaka Utama Grafiti, 1997), Surakarta merupakan pusat utama industri batik yang terus mendominasi pasar lokal dan nasional pada kurun 1859 – 1910-an. Seperti diketahui, pada masa itu batik menjadi semacam pakaian wajib bagi pribumi, mulai dari jarik, sarung, dodot, iket, dan selendang.

Perdagangan batik di Kauman, salah satu kelurahan sentra batik di Kota Surakarta, yang bermula dari pola-pola transaksi kecil pun berkembang sampai ke luar kota. Kejayaan bisnis batik tulis dan batik cap di Kauman itu menyisakan jejak sejarah berupa rumah-rumah megah berarsitektur Jawa, Indies, dan Art Deco yang dibangun pada 1800 – 1950-an.

Namun, memasuki awal 1980-an, usaha batik tradisional mulai kolaps karena batik hasil teknologi printing, acap disebut batik China, mulai merambah pasaran Indonesia. Akibat kalah bersaing dengan batik printing yang lebih murah dan diproduksi massal dalam waktu singkat, banyak pengusaha batik di Kauman pada saat itu yang gulung tikar.

“Printing masuk, batik tulis jatuh. Batik cap mati juga. Yo agek saiki ki kok yo (baru terjadi akhir-akhir ini ya),” kata Bu Mustangidi, 88 tahun, salah satu mantan saudagar batik di Kauman saat ditemui Tempo di rumahnya pada Kamis petang, 20 September 2018.

Menurut Bendahara I Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, Muhammad Soim, masa suram batik Kauman berlanjut sampai sekitar 2006. Lantaran bisnis batik tradisional dinilai sudah tidak bisa menjamin kehidupan di masa depan, sebagian anak saudagar batik di Kauman lebih memilih berkarir di bidang lain. Tidak sedikit pula yang merantau ke luar kota.

“Bisa dibilang generasi batik di Kauman saat itu hampir terputus,” kata Soim saat ditemui di kantor Syarikat Dagang Kauman (SDK), pada Jumat, 21 September 2018. Walhasil, rumah-rumah kuno nan megah di Kauman, yang dulunya sebagai tempat produksi batik tradisional, mulai ditinggalkan.

Karena mahalnya biaya perawatan serta tingginya tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di tengah kota, sebagian pemilik rumah kuno di Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, terpaksa menjual aset yang sarat nilai sejarah itu. “Satu rumah itu ahli warisnya banyak, mayoritas berdomisili di luar kota. Biaya perawatan rumah kuno kan tidak murah dan tarif PBB juga naik terus tiap tahun. Kalau rumah tidak terawat kan sayang. Solusinya ya dijual,” kata Soim.

Berawal dari kegelisahan akan maraknya penjualan rumah kuno itulah Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman dibentuk pada 2006. Paguyuban tersebut diresmikan dengan pelantikan kepengurusan pada 7 April 2006. Meski Kauman memiliki banyak potensi wisata, paguyuban sengaja mengusung batik sebagai ikon utama dalam upaya memberdayakan kampung yang berumur lebih dari 2,5 abad itu. Sebab, ibarat dua sisi mata uang, Kauman dan batik adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan.

*

Sejarah mencatat, Kauman sama tuanya dengan Masjid Agung Surakarta yang dibangun Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) III, raja Keraton Kasunanan Surakarta, pada 1757. Setelah membangun masjid sebagai pusat dakwah Islam bagi keraton, raja sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah (pemimpin negara dan agama demi rakyat yang damai dan sejahtera) juga mengangkat Penghulu atau ahli agama sekaligus penasehat raja yang diberi hak pakai atas sebidang tanah di utara Masjid Agung.

Seiring perkembangannya, tanah di sekitar Masjid Agung itu ditempati para abdi dalem pamethakan (dari kata dasar pethak atau putih, simbol umat atau kaum muslim) yang bertugas di bidang keagamaan dan kemasjidan. Oleh keraton, sebagaimana ditulis Raden Mas Sajid Dalam Babad Sala (1984), tanah tersebut diberi nama Perkauman (tempat tinggal para kaum) yang kemudian menjadi Kauman.

Awalnya warga Kauman hanya bekerja sebagai abdi dalem ulama. Selain mendapat gaji dan jaminan hidup dari keraton, para abdi dalem itu juga diajarkan keahlian membatik yang kemudian merangsang tumbuhnya iklim wirausaha di Kauman. Meski hampir semua daerah di Indonesia juga mengembangkan produksi batik, batik Kauman tetap laris di pasaran karena mempertahankan ciri khas motif pakem tradisional keraton sampai sekarang.

Batik Kauman Solo

*

Dalam buku Kauman, Religi, Seni & Tradisi disebutkan bahwa Surakarta pada 1915 memiliki 225 tempat produksi batik dengan 3.608 orang buruh. Mengutip Encyclopaedie van Nederllandsch/Indie, buku yang diterbitkan Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman pada 2007 itu menyebutkan, sebagai salah satu pusat produksi sekaligus pusat perdagangan batik di Surakarta, Kauman pada masa itu mengkhususkan pada produksi batik tulis halus.

“Sedangkan pada 2006, dari hasil survei kami, tinggal sekitar enam atau delapan keluarga di Kauman yang masih bertahan memproduksi batik,” kata Soim, salah satu penyusun buku Kauman, Religi, Seni & Tradisi. Seiring dengan gencarnya promosi yang dilakukan Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, produsen batik di Kauman pun berangsur bangkit kembali.

Sebelum Kauman menjadi kampung wisata batik, Soim mengatakan, usaha batik yang masih bertahan hanya terpusat di Jalan K.H Hasyim Ashari, Jalan Trisula, dan di pinggir jalan raya yang mudah diakses pembeli. “Sekarang sampai masuk ke gang-gang,” kata Soim. Dari hasil pendataan pada 3 - 4 tahun lalu, pelaku usaha batik di Kauman jumlahnya sudah mencapai di atas 100 orang.

Dari jumlah itu, sekitar 50 orang di antaranya tergabung dalam Syarikat Dagang Kauman (SDK), koperasi serba usaha yang didirikan pada 2012. Selain melayani simpan pinjam, pengadaan bahan baku dan peralatan membatik, SDK juga memiliki dua showroom bersama di lokasi yang strategis untuk menampung produk anggotanya yang sebagian tidak memiliki toko atau tokonya berada di gang kecil.

Tidak semua toko atau unit usaha batik di Kauman bergabung di paguyuban dan koperasi. Sebab, paguyuban dan koperasi menerapkan sejumlah syarat khusus seperti anggotanya harus ber-KTP dan berdomisili di Kauman. Sejak kampung wisata batik Kauman mulai menggeliat, Soim berujar, banyak orang dari luar yang berinvestasi. Para pemilik modal itu bekerja sama dengan pemilik rumah-rumah kuno, yang semula dibiarkan kosong dan tidak terawat, untuk membuka toko.

“Kami justru senang dengan masuknya investasi, kan bisa bermanfat untuk rumah-rumah kuno itu, sesuai dengan tujuan awal kami mendirikan kampung wisata batik. Manggon tengah kutho, nggone ombo, larang lho PBB-ne (tinggal di tengah kota, rumahnya luas, mahal lho pajaknya),” ujar Soim.

Ihwal berapa kain batik yang diproduksi dari Kauman tiap hari, Soim mengaku tidak bisa memastikan. Sebab, mayoritas pelaku usaha batik di Kauman memiliki kantong-kantong perajin batik sendiri yang tersebar di kawasan Solo Raya, eks-Karesidenan Surakarta. “Rumah-rumah di Kaumanlebih banyak dimanfaatkan untuk toko. Masih ada juga beberapa yang masih memproduksi batik di sini, tapi hanya yang menggunakan pewarnaan alam,” kata Soim.

Tagged
Different Themes
Written by Templateify

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

1 komentar:

  1. Bukanya kebangkitan pengusaha batik kauman dimulai tahun 1995-2000 ya dengan dibantu oleh pemkot surakarta??

    BalasHapus

Recent