google-site-verification: google81f2ee356101f507.html Buruh Nulis: FILM
Open top menu
Tampilkan postingan dengan label FILM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FILM. Tampilkan semua postingan
Selasa, 14 Mei 2019
Drama Pejuang Sinema



SOLO - Dirilis sejak 8 Juli 2017, film dokumenter Balada Bala Sinema masih laris di ruang-ruang pemutaran film alternatif. Kamis dua pekan lalu, 2 Mei 2019, film yang merekam perjuangan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga itu menjadi film utama pembuka Pesta Film Solo (PSF) #9 yang diselenggarakan Kine Klub FISIP UNS di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kota Surakarta.

"Alhamdulillah, di situ saya kadang merasa bernasib lebih baik daripada film-film Indonesia lainnya yang dibuat dengan budget miliaran tapi umurnya cuma seminggu di bioskop. Habis itu hilang entah kemana," tulis sutradara Balada Bala Sinema, Yuda Kurniawan, di akun instagramnya.

Selain di PSF #9, tahun ini Balada Bala Sinema juga telah menyambangi sejumlah bioskop alternatif seperti Jatiwangi Sinematek di Majalengka pada 3 Februari, Mini Sinema Sang Akar di Jakarta Selatan pada 23 Maret, dan jaringan mitra Indicinema Bandung (tersebar di sejumlah kota di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi) sejak Januari - April.

Sebelum bertualang ke berbagai bioskop alternatif, Balada Bala Sinema juga telah berkelana ke berbagai ajang film bergengsi di dalam maupun luar negeri, di antaranya Indonesia Film Festival 2017, Singapore International Film Festival 2017, Jogja NETPAC Asian Film Festival 2017, Indonesian On Screen di Berlin, Jerman, 2018, dan Asian Film Festival Barcelona 2018.

Nasib baik Balada Bala Sinema, yakni tetap eksis di dunia perfilman Indonesia meski umurnya sudah hampir dua tahun sejak diputar perdana di Purbalingga Film Festival 2017, tidak terlepas dari pergerakan komunitas-komunitas film di berbagai daerah.

Berkat kegigihan komunitas-komunitas film yang menolak tunduk pada kemapanan industri film yang menghamba pada selera pasar, terciptalah ruang-ruang pemutaran alternatif bagi Balada Bala Sinemadan film independen lain karya anak bangsa yang tidak tertampung di gedung-gedung bioskop komersial.

Sebagai wujud penghargaannya kepada komunitas-komunitas yang tak kenal lelah membangun budaya literasi film ke berbagai pelosok daerah, Yuda dan rekannya Damar Ardi bertekad membuat Balada Bala Sinema.

“Film ini saya dedikasikan kepada Bowo Leksono dan para Punggawa CLC Purbalingga yang tak kenal lelah mencetak sineas-sineas baru yang berprestasi,” kata Yuda, sineas kelahiran Ruteng, Manggarai, NTT yang meraih Piala Citra 2018 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik berkat karya terbarunya, Nyanyian Akar Rumput.


Balada Bala Sinema mengisahkan tentang CLC Purbalingga, komunitas pegiat film yang didirikan Bowo Leksono sejak 2006. Bowo Leksono adalah mantan jurnalis asal Purbalingga yang cukup produktif memproduksi film fiksi dan dokumenter.

Dalam film berdurasi 107 menit itu Yuda dan Damar merangkum betapa panjang dan terjalnya jalan yang ditempuh CLC dalam merintis dan membangun budaya literasi film di Purbalingga dan di kabupaten sekitarnya seperti Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap.

Selama lebih dari setahun, 2015 - 2016, Yuda mengikuti aktivitas keseharian Bowo dan CLC-nya. Mulai dari kegiatan CLC saat mendampingi para pelajar yang memproduksi film pendek hingga kesibukan saat menyelenggarakan Festival Film Purbalingga 2016. Dalam festival tahunan yang berlangsung sebulan penuh itu, CLC menggelar pemutaran film dengan layer tancap dari kampung ke kampung.


Sebagai film yang sejak awal didedikasikan untuk mengenalkan CLC Purbalingga ke khalayak ramai, Yuda sengaja menggunakan teknik pengambilan gambar yang sederhana. Layaknya video karya jurnalistik, film ini memberikan porsi wawancara yang cukup besar bagi Bowo dan kawan-kawan seperjuangannya untuk menceritakan berbagai hal yang mereka kerjakan tanpa dukungan dari pemerintah daerah.

Kendati demikian, Balada Bala Sinema bukanlah film yang membosankan. Berkat ketajaman insting Yuda yang terasah selama menekuni dunia dokumenter sejak kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (angkatan 2001), beragam momen penting yang berharga untuk membangun ketegangan dalam cerita tak pernah luput dari sorotan kameranya.

Pada menit-menit awal, penonton disuguhi konflik berupa larangan memutar film di Graha Adiguna, pendopo di komplek kantor Bupati Purbalingga, oleh Satpol PP. Dari peristiwa itulah lahirlah satu film dokumenter pendek (durasi 30 menit) karya Bowo Leksono yang berjudul Bioskop Kita Lagi Sedih.

Setelah konflik reda dan cerita mulai mengalir tenang seiring perjuangan CLC yang tetap konsisten memutar film-film karya pemuda lokal, penonton kembali dikejutkan oleh rangkaian adegan yang menegangkan pada menit-menit terakhir. Yakni, saat sejumlah aral merintangi rencana CLC memutar film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta karya Rahung Nasution pada 27 Mei 2016.  

Dengan kamera yang ditenteng dalam kondisi merekam, Yuda mengikuti Bowo dan rekan-rekannya saat memenuhi undangan dari kepolisian dan militer setempat yang meminta keterangan hal ihwal film tersebut. “Sebenarnya saya sudah menyiapkan kamera tersembunyi, tapi risikonya besar. Kalau ketahuan justru bahaya,” kata Yuda membeberkan siasatnya agar tetap dapat mendokumentasikan momen-momen penting.

Puncak konfliknya terjadi saat lokasi pemutaran film itu, aula Hotel Kencana Purbalingga, digeruduk sekelompok orang yang mengusung nama Aliansi Pemuda Cinta Pancasila. Meski proses negosiasinya berlangsung alot dan tegang, seratusan penonton di Teater Arena TBJT malam itu tak jarang terpingkal karena jawaban-jawaban konyol dari pimpinan kelompok tersebut saat Bowo menanyakan alasan mereka melarang pemutaran film yang berlatar belakang tragedi 1965 itu.


“Setelah Balada Bala Sinema dirilis, pimpinan kelompok itu meneror saya dalam waktu cukup lama. Entah dari mana dia dapat nomor telepon saya. Dia bilang malu karena jadi bahan tertawaan. Padahal faktanya saat itu memang demikian,” kata Yuda sambil tertawa.

Damar mengaku tidak menyangka Balada Bala Sinema hingga kini masih diputar di bioskop-bioskop alternatif dan penontonnya selalu ramai. “Film ini juga bertujuan memberikan gambaran bahwa dukungan terhadap komunitas-komunitas film tidak cukup hanya sekadar menyukai unggahan mereka di media sosial. Tapi wujudkanlah dukungan itu dalam karya,” kata sineas yang bekerja di sejumlah organisasi dan festival film nasional bergengsi itu.

Yuda menambahkan, proses produksi Balada Bala Sinema sangat terbantu oleh tingginya kesadaran anggota CLC Purbalingga dalam membuat dokumentasi. Sebab, dalam kurun lebih dari setahun itu, Yuda musti mondar-mandir Purbalingga - Solo untuk mengerjakan Nyanyian Akar Rumput, film dokumenter tentang Fajar Merah (anak bungsu Wiji Thukul, penyair asal Kota Solo) dan band Merah Bercerita.

“Kalau sudah kehabisan ide di Purbalingga, saya ke Solo atau pulang dulu ke Jakarta,” kata Yuda. Untuk Balada Bala Sinema, dia berujar, total footage (video mentah) yang terkumpul mencapai empat terabyte, separuhnya sumbangan dari CLC Purbalingga.

DINDA LEO LISTY


Nb: Reportase ini dimuat di Koran Tempo edisi Selasa, 14 Mei 2019


Read more
Minggu, 24 Februari 2019
Marshall From Detroit, Semobil Dengan Eminem Menyusuri Kota Asalnya

poster Marshall From Detroit dari reddit.com


Pernah membayangkan bagaimana rasanya semobil dengan artis idola anda, diantar berkeliling ke kota asalnya sambil mendengarkan dia menuturkan kisah masa lalunya? Bagi para penggemar Eminem, ayangan semacam itu bukan lagi mimpi di siang bolong. 

Setelah cuplikannya dirilis di youtube pada Januari lalu, film dokumenter Eminem yang berjudul Marshall From Detroit kini bisa ditonton gratis di Oculus Go, Oculus Rift, dan Samsung Gear VR. Film berformat 360 derajat yang diproduksi Felix & Paul Studios ini akan mengajak anda mengeksplor kota Detroit dari sudut pandang Eminem; membandingkan masa-masa sulit yang pernah dia alami dengan versi terkini kota itu. 

Meski hanya berdurasi 21 menit, film berteknologi virtual reality (VR) ini menyuguhkan pengalaman yang
jauh lebih intim dibandingkan film drama biografi Eminem, 8 Mile (2002). Dengan perangkat pendukung VR, dilansir dari vrscout.com, film besutan sutradara Caleb Slain ini mengajak anda turut dalam mobil yang membawa Marshall Mathers -nama asli Eminem- menyusuri jalanan Detroit, Michigan, AS, pada suatu malam di musim dingin. 

Di mobil itu anda bakal duduk berhadapan dengan Eminem yang sedang diwawancarai Sway Calloway. DJ radio sekaligus rapper teman lama Eminem itu duduk tepat di sebelah kiri anda. Caleb Slain mengatakan filmnya bertujuan memperluas keintiman yang ditawarkan teknologi VR - di luar perjalanan sekali seumur hidup dengan Marshall dan memperkenalkan versi Detroit yang lebih mistik. "Kami ingin mengambil 'kenyataan' dari VR dan mengolahnya menjadi sesuatu yang lebih tidak nyata, tapi juga jujur," kata Caleb Slain kepada variety.com

Dalam buku Eminem Not a Mama's Boy (2002), Chuck Weiner menuturkan Marshall dibesarkan di lingkungan kumuh nan keras di Detroit oleh ibunya yang hanya mengandalkan tunjangan dari pemerintah. Tumbuh dengan berbagai kemalangan yang merundungnya, Marshall pun bermimpi untuk lekas meninggalkan Detroit. Namun, mimpi itu tak kunjung terwujud. Berkat pamannya, di kota berjuluk Motor City itulah Marshall mulai mengenal rap dan hip-hop; dan menjadikannya sebagai tempat pelarian.

Pertama kali menjadi rapper, seperti digambarkan dalam 8 Mile, Marshall mendapat perlawanan keras dari kalangan mayoritas kulit hitam. Tapi dia tetap gigih hingga berhasil merilis album perdananya, Infinite (1996). Untuk mengenang masa awal perjuangan itu, dalam Marshall From Detroit, rap Marshall diputar sekali saat kilas balik ke adegan rap battle-nya yang direkam pertama kali di Detroit pada 1996.

Saat mengarungi jalanan Detroit bersama Sway, Eminem mengungkap upayanya mengejar kualitas Marshall Mathers LP (MLPP); salah satu album yang sangat sukses di awal karirnya. Sebab, penggemarnya lebih menyukai "Marshall yang dulu" dan percaya pada kemarahan yang disalurkan ke dalam album-album lamanya seperti MLPP.  Meski berusaha
mengembalikan suara khas dan tingkat gairahnya pada era 90'an, Eminem mengakui kemarahan yang dia rasakan kini berbeda; bukan lagi sebagai anak yang tumbuh di lingkungan yang kurang ideal. 

Namun, Eminem mengklaim masih memiliki semangat yang sama untuk menyusun bar dan menulis lirik yang merangsang pemikiran menantang konvensi serta norma musik modern ke dalam komposisi yang emosional. Bagaimana pun, selama lebih dari 23 tahun terakhir, Eminem telah mengubah hip-hop dengan cara yang eksplosif. Meningkatnya kesuksesan Eminem telah memberikan Detroit suara dan reputasi yang berbeda. Dan, bagi Eminem, Detroit akan selalu menjadi rumahnya.

Selain menyimak wawancara yang mengupas sisi intim Eminem yang jarang diketahui publik, Marshall From Detroit juga membawa penontonnya mengunjungi berbagai sketsa kota Detroit; dari jalanan tertutup salju sampai berdiri di tengah aula gedung pertunjukan besar yang sudah terbengkalai; tempat di mana battle-rap Marshall yang bersejarah kemungkinan berlangsung pada 23 tahun lalu.

Read more
Selasa, 15 Januari 2019
no image

DINDING

Kalau saja aku bisa mencapai
Rumah induk ibu maut
Oh, putriku
Aku akan membuat obor rumput panjang ...
Aku akan menghancurkan semuanya dengan sangat ...

Lagu pemakaman tradisional Acholi, Kota Thokoza, Afrika Selatan, 18 April 1994.


"Bukan sebuah foto," gumamku ketika melihat dari jendela bidik kamera pada tentara yang menembak secara metodis ke asrama. Aku berbalik ke barisan tentara yang ketakutan, ogah-ogahan, dan kurang terlatih yang berlindung di sepanjang tembok di sebelahku. Mata mereka belingsatan di bawah lingkar helm baja. Aku ingin memotret ketakutan itu. Menit berikutnya, sebuah pukulan menghantamku - berat, seperti palu - di dada. Aku melewatkan sebuah sub-momen, hentakan dari hidupku, dan kemudian aku menemukan diriku di tanah, terjerat di kaki fotografer lain yang bekerja di sampingku. Rasa sakit menyinari dada kiriku dan menyebar ke seluruh tubuh. Itu jauh melampaui titik yang aku bayangkan sebagai puncak rasa sakit. ‘Persetan! Aku tertembak, aku tertembak! Keparat! Keparat! Persetan! '

Saat tembakan otomatis terus meletus dari sepanjang dinding, Joao dan Jim mati-matian menarik rompi kamera yang kukenakan agar lebih dekat ke dinding, mencari perlindungan di samping tentara dan keluar dari barisan tembakan mereka. Kemudian sebuah suara menyedihkan menerobos hiruk pikuk itu: "Ken O tertembak!" Aku berjuang memutar kepala melalui tali-tali kamera yang kusut dan mengikat leherku. Beberapa meter di sebelah kanan, aku bisa melihat sepasang kaki kurus panjang yang tidak salah lagi milik Ken yang menonjol dari rumput liar yang tumbuh di dinding beton. Kaki itu tidak bergerak dan pada sudut yang mustahil satu sama lain. Jim berlari ke tempat Gary mencengkeram Ken, berusaha menemukan tanda kehidupan. Retakan sporadis dan derak tembakan otomatis berkecepatan tinggi bergema di udara di sekitar kerumunan wartawan dan tentara yang mencoba merapatkan diri mereka ke tembok.

Darah merembes dari lubang yang menganga di kausku. Aku mengapitkan tangan di atas lubang itu untuk menghentikan pendarahan. Aku membayangkan luka tempat keluarnya peluru sebagai lubang mematikan yang menganga di punggungku. "Cari luka keluarnya (peluru)," kataku pada Joao. Dia mengabaikanku. "Kamu akan baik-baik saja," katanya. Aku paham itu pasti parah jika dia tidak mau melihatnya, dan seolah-olah ini semua terjadi dalam film yang suram, aku meminta dia menyampaikan pesan kepada pacarku. "Katakan pada Heidi, aku minta maaf ... aku mencintainya," kataku. "Katakan sendiri," balasnya.

Tiba-tiba sebuah sensasi ketenangan total menyapuku. Ini dia. Aku telah mendapatkan hakku. Aku telah menebus puluhan close calls (situasi yang buruk, tidak menyenangkan, atau berbahaya yang hampir terjadi, tetapi berhasil menghindarinya) yang selalu membuat orang lain terluka atau mati, sementara aku muncul dari adegan kekacauan tanpa cedera, dengan foto-foto di tangan, setelah melakukan kejahatan menjadi voyeur yang beruntung.

voyeur: seseorang yang mendapatkan kenikmatan seksual dari menonton orang lain ketika mereka telanjang atau terlibat dalam aktivitas seksual.

Jim kembali, berjongkok di bawah tembakan dan bergumam pelan di telingaku, 'Ken sudah pergi (mati), tetapi kamu akan baik-baik saja.' Joao mendengar dan berdiri bergegas ke arah Ken, tetapi yang lain sudah membantunya. Dia mengangkat kameranya. "Ken ingin melihatnya nanti," katanya pada dirinya sendiri. Dia kesal karena rambut Ken menutupi wajah, merusak gambar. Joao mengambil foto kami berdua - dua teman terdekatnya - aku tergeletak di beton yang retak memegangi dadaku; sedangkan Ken diayun ke belakang sebuah kendaraan lapis baja oleh Gary dan seorang prajurit, kepalanya terkulai bebas seperti boneka kain dan kameranya tergantung tidak berguna dari lehernya. Kemudian giliranku diangkut ke dalam mobil lapis baja; Jim memegang pundakku dan Joao, tetapi saya besar, dimanjakan Heidi membuat beratku bertambah hingga berkilo- kilo. "Kamu terlalu gemuk, Bung!" Joao bercanda. "Aku bisa berjalan," aku memprotes, mencoba tertawa, tapi anehnya justru jadi geram. Aku ingin mengingatkan mereka akan bobot kamera-kamera.

Setelah empat tahun mengamati kekerasan itu, peluru akhirnya menyusul kami. Bang-bang* itu baik untuk kami, sampai sekarang.

*bang-bang: memiliki efek yang tiba-tiba, kuat, atau menarik perhatian / dieksekusi atau terjadi dengan sangat cepat / ditandai dengan aksi kekerasan atau langkah cepat.

Sebelumnya pagi itu kami telah menggarap jalan-jalan belakang dan gang-gang yang hancur di kota Thokoza yang tak berpenghuni - Ken Oosterbroek, Kevin Carter, Joao dan saya - telah menjadi akrab dengan bertahun-tahun dalam memburu konfrontasi antara polisi, tentara, prajurit Zulu modern dan para pemuda penghasil Kalashnikov ketika apartheid berakhir.

Kevin tidak bersama kami saat penembakan terjadi. Dia telah meninggalkan Thokoza untuk berbicara dengan seorang jurnalis lokal tentang Hadiah Pulitzer yang telah dia menangkan karena fotonya yang mengejutkan tentang seorang anak yang kelaparan yang diintai oleh burung pemakan bangkai di Sudan. Dia bimbang untuk berangkat. Joao menyarankannya untuk tinggal, bahwa meski ada jeda, peristiwa itu pasti akan dimasak lagi. Tapi Kevin menikmati statusnya yang baru sebagai selebriti dan tetap pergi.

Saat makan siang steak di Johannesburg, Kevin menceritakan banyak kisah pelariannya yang genting. Setelah hidangan penutup, ia mengatakan kepada wartawan bahwa pagi itu ada banyak "bang-bang" di Thokoza, dan ia harus kembali. Ketika mengemudi kembali ke kota, sekitar 16 kilometer dari Johannesburg, ia mendengar laporan berita di radio bahwa Ken dan saya tertembak, dan Ken sudah mati. Dia mengebut ke rumah sakit lokal tempat kami dibawa. Kevin hampir tidak pernah mengenakan pelindung tubuh, tidak satupun dari kami yang mengenakannya, bahkan Joao dengan tegas menolaknya. Tetapi di pintu masuk ke kota, sebelum mencapai rumah sakit, Kevin menaruh rompi anti peluru di atas kepalanya. Sekaligus, dia merasa takut.

Lelaki itu tidak lagi 'tak tersentuh', dan, sebelum noda darah memudar dari beton di samping dinding, salah satu dari kami akan mati. 
Read more
Jumat, 11 Januari 2019
no image


KLATEN – Sudah lama punya hobi bertualang sekaligus mengabadikan momen-momen berharga di sepanjang perjalanan menggunakan kamera video? Sekaranglah waktunya membuat resolusi untuk tahun depan bahwa kedua hobi yang saling terpaut tersebut musti menelurkan karya yang lebih serius, seperti film dokumenter.

Tidak sedikit film dokumenter karya anak bangsa yang meraih penghargaan di kancah internasional. Sebut saja “Jalanan”, yang mengisahkan tiga musisi jalanan Jakarta, terpilih sebagai film dokumenter terbaik di Busan International Film Festival di Korea pada 2013.

Ada pula “Renita, Renita” karya Tonny Trimarsanto, yang mengisahkan kehidupan transgender asal Donggala di Jakarta, terpilih sebagai Best Short Asia Film di Cinemanila International Film Festival 2007 di Filipina dan Best Film di Culture Unplugged International Film Festival 2009 di India.

Tertantang membuat film dokumenter? Rumah Dokumenter yang beralamat di komplek perumahan Griya Prima Barat 5/19 Belang Wetan, Kecamatan Klaten Utara, Kabupaten Klaten, adalah salah satu tempat yang bisa dikunjungi untuk belajar lebih dalam hal ihwal film dokumenter.

Rumah Dokumenter adalah sebutan untuk tempat tinggal Tonny Trimarsanto bersama istri dan tiga anaknya. Di rumah yang memadukan arsitektur Jawa berupa pendopo untuk ruang depan dan gaya modern-minimalis di ruang tengah dan belakang itu, Tonny menggembleng para sineas muda dari berbagai daerah yang berminat menekuni film dokumenter tanpa memungut biaya.

“Biasanya banyak yang ke sini pada awal tahun atau saat musim libur sekolah. Ada juga yang menginap berhari-hari, saya sediakan tempat di ruang studio (lantai atas),” kata Tonny pada Rabu, 20 Desember 2017. Di Rumah Dokumenter, Tonny tidak memberikan materi tentang teknik mengambil gambar yang bisa dipelajari sendiri dari internet.

“Tapi lebih berupa pendampingan kepada para sineas muda dalam menerjemahkan gagasan mereka ke dalam film dokumenter,” kata Tonny yang baru meraih Piala Citra kategori film dokumenter panjang terbaik dalam penganugerahan Festival Film Indonesia (FFI) 2017 di Manado pada 11 November lalu berkat karyanya yang berjudul Bulu Mata.

Menurut Tonny, proses pembuatan film dokumenter secara garis besar bisa dikelompokkan dalam enam tahapan, yaitu:

1.       Menterjemahkan Ide

Sumber ide untuk film dokumenter bisa dari berita, buku bacaan, hasil penelitian, cerita orang, hasil pengamatan lingkungan sosial, dan lain-lain. Ide cerita film bisa sangat umum, subyeknya dapat berubah atau berganti.

Berbeda dengan film fiksi yang adegan dan jalan ceritanya bisa didesain sesuka hati, semua peristiwa dalam film dokumenter adalah nyata,. “Maka itu pembuat film dokumenter harus melakukan riset untuk mencari tokoh yang dapat mewakili ide cerita,” kata Tonny.

2.       Mencoba Riset

Riset bisa dilakukan dalam dua cara, yaitu riset pustaka dan riset visual (lapangan). Dalam riset visual, pembuat film dokumenter akan mengumpulkan data yang sesuai dengan ide cerita, mencari tokoh yang akan menjadi narasumber dalam film, menentukan lokasi shooting dan menghitung lamanya waktu shooting.

3.       Menulis Shooting Script

Dari hasil riset, pembuat film dokumenter punya gambaran konkret tentang karakter dan subyek yang dirangkum dalam sinopsis. Langkah selanjutnya adalah menulis shooting script guna membuat alur cerita untuk menyampaikan pesan dalam film.

4.       Merekam Peristiwa

Buat jadwal shooting dan upayakan menepatinya. “Setia pada jadwal itu prioritas, harus tepat waktu agar tak kehilangan momen,” kata Tonny. Dalam proses merekam, pembuat film dokumenter juga harus membayangkan proses editingnya untuk menata urutan adegan yang sedang direkam.

5.       Pasca-produksi

Meninjau semua materi shooting yang didapat, membuat transkrip wawancara, mengedit script, memotong dan menyusun gambar sesuai dengan informasi-estetik-dramatik, dan menata peristiwa, musik, serta informasi yang harus muncul dominan dalam sepanjang durasi film. “Pasca-produksi adalah fase terakhir yang sangat menantang,” kata Tonny.

6.       Mencari Festival

Pembuat film harus dapat mengukur kualitas dan pencapaian karyanya. Setelah itu baru memilih dan mencari festival, ajang untuk membuka akses. Jika film yang dikirimkan ikut diputar dan dikompetisikan, kurator dan festival film dunia akan mudah mengakses. “Sekarang, tiap tahun ada puluhan festival film dunia yang menyodori saya form aplikasi atau sekadar menanyakan karya film baru saya via email,” kata Tonny.

Read more
Delapan Tahun Mengasah Insting Bersama Garin

Tonny Trimarsanto


KLATEN – Ditemani segelas kopi arabika Toraja yang diseduh sendiri, di pendopo rumahnya yang basah oleh tempias hujan deras pada Selasa malam lalu, Tonny Trimarsanto menceritakan sekelumit perjalanan panjangnya berkecimpung di dunia film.

“Saya otodidak, tidak punya dasar pendidikan sinematografi. Kebetulan dulu sering nongkrong di TBS (Taman Budaya Jawa Tengah di Solo), nonton pemutaran film. Tiba-tiba Mas Garin butuh periset visual untuk film Bulan Tertusuk Ilalang pada 1992. Sejak itu saya membantu dia sampai tahun 2000,” kata lulusan ilmu politik Universitas Sebelas Maret Surakarta itu.

Delapan tahun bekerja sebagai periset materi visual dan penata artistik untuk sejumlah film besutan Garin Nugroho membuat Tonny Trimarsanto punya cukup bekal untuk mulai meniti karirnya sendiri sebagai sutradara film dokumenter.

“Karena passion saya di situ (dokumenter). Kerja di artistik sebetulnya menarik, jadi punya prespektif tentang ruang, cita rasa, visual, dan lain-lain. Tapi delapan tahun cukuplah, saya sudah tahu bagaimana kerjanya. Kalau di dokumenter kan lebih lengkap,” kata lelaki kelahiran 21 Oktober 1970 itu.

Selain terlatih membuat cerita dan mengemasnya menjadi kisah yang menarik, pengalaman kerja sebagai periset materi visual dalam produksi film fiksi juga mengasah insting Tonny dalam memilih calon narasumber yang akan menjadi tokoh dalam film dokumenternya.

Ketajaman insting Tonny dalam menyeleksi karakter semakin terasah setelah belasan tahun menekuni produksi film dokumenter. Seperti diketahui, ada sejumlah batasan etis yang lebih mengikat pembuat film dokumenter dibandingkan dengan film fiksi.

“Tidak ada honor untuk tokoh dalam film dokumenter. Tapi saya mengganti waktu produktif dia yang saya gunakan. Misalnya Renita bekerja di salon sejak pukul 08.00 - 16.00 dapat Rp 100.000. Karena waktu produktifnya saya comot untuk buat film, maka saya ganti sesuai pendapatannya,” kata suami dari Damayanti dan ayah untuk Prana, Latu, dan Tantra itu.

Menurut Tonny, besaran upah yang dia ganti selama proses produksi film dokumenternya bukanlah alasan bagi para karakternya untuk bersedia diangkat kisahnya. “Karena mereka terpanggil untuk menjadi sosok yang inspired, yang menginspirasi orang lain,” kata dia.

Tidak mudah membujuk kaum-kaum minoritas yang tersisih dan rentan mengalami diskriminasi seperti transgender untuk diangkat kisahnya ke dalam film dokumenter. Selain malu, berbagai risiko juga siap mengadang mereka setelah filmnya diluncurkan.

Dalam posisi seperti itu, selain mengandalkan insting dalam memilih narasumber, kejujuran adalah kunci bagi Tonny meluruhkan sekat penghalang antara dirinya dan sang calon karakter. “Sejak awal saya selalu bilang bahwa saya membuat film untuk advokasi. Film ini menyangkut kepentingan anda dan banyak orang yang seperti anda,” kata Tonny.

Dengan pendekatan semacam itu, Tonny berujar, Muhammad Zein Pundagau alias Renita yang semula bekerja di salon, tempat hiburan, hingga menjadi PSK di Jakarta, kini sering diundang menjadi narasumber di banyak acara pemutaran film dokumenternya yang berjudul Renita, Renita (2006).

Biografi Tonny Trimarsanto

Lahir di Klaten, 21 Oktober 1970. Tonny tumbuh dari keluarga yang menekuni seni, dari kakeknya yang menjadi penabuh kendang dalam musik karawitan Jawa. Tonny mengawali karir sebagai periset materi visual, penulis skenario, dan penata astistik film.

Tonny pernah meraih penghargaan Best Art Director dari beberapa festival internasional untuk film Daun di Atas Bantal (disutradarai Garin Nugroho). Pada 2000, Tonny mulai menyutradai filmnya sendiri berjudul Gerabah Plastik. Film tersebut meraih Best Film di Tembi Dokumenter Film Festival di Jogja (2002), Vision Tokyo International Film Festival di Jepang (2003), dan pernah menjadi New Asian Current Spesial di Yamagata International Film Festival Japan dengan film The Dream Land.

Film layar lebar pertamanya, Serambi, diputar di Cannes International Film Festival France 2006, 25th Tokyo International Film Festival Japan 2006, 24th Miami International Film Festival 2007, dan San Fransisco International Film Festival 2007.

Selain menyutradarai film, Tonny juga menjadi fasilitator workshop pembuatan film untuk stasiun televisi Metro TV, SCTV dan Bali TV dan untuk sejumlah LSM. Tonny juga aktif menulis di media cetak dan online. Dia juga menerbitkan dua buku Membuat Film Dokumenter – Gampang Gampang Susah dan Renita, Renita – Catatan Proses Membuat Film Dokumenter, dan menjadi editor buku Membaca Film Garin dan Televisi Publik Indonesia. Hingga kini Tonny juga aktif mendorong pertumbuhan jaringan dan penguatan apresiasi pada film-film dkumenter di Rumah Dokumenter.

Read more
Menggugat Framing Media Lewat Film Dokumenter

poster film Renita,Renita. sumber foto: rumahdokumenter.com


KLATEN – Perkenalannya dengan Muhammad Zein Pundagau alias Renita saat membuat film dokumenter Renita, Renita (2007) menjadi gerbang bagi Tonny Trimarsanto, 47 tahun, untuk lebih dalam menyelami kehidupan kaum transgender.

“Saya selalu senang dengan teman-teman (transgender) yang dunianya tidak pernah tersentuh. Tapi kalau nonton di televisi, mereka selalu dicitrakan sebagai sosok yang suka berdandan menor, pekerjaannya kotor, jadi PSK, dan lain-lain,” kata sineas kelahiran 21 Oktober 1970 itu.

Renita, Renita adalah film dokumenter yang mengisahkan tentang seorang transgender dari Desa Pulu, Donggala. Keluarga besarnya menolak dia menjadi waria. Renita pun akhirnya merantau ke Palu, Balikpapan, Jakarta, bahkan pernah sampai ke Singapura. Di sepanjang pelariannya, Renita bekerja di salon, tempat hiburan malam, sampai menjadi PSK di hotel-hotel di Jakarta.

Film yang terlahir berkat tawaran dari Komnas HAM untuk mengangkat isu seputar kaum minoritas itu terpilih sebagai pemenang Best Short Asia Film di Cinemanila International Film Festival 2007 di Filipina dan Best Film di Culture Unplugged International Film Festival 2010 di India. Renita, Renita juga masuk dalam kategori kompetisi berbagai festival film dunia dan diputar untuk tujuan edukasi oleh sejumlah lembaga di dalam dan luar negeri.

“Ketika filmnya menang di banyak festival, uangnya saya kembalikan ke Renita. Dia bilang mau pulang ke kampung karena sudah 25 tahun tidak pernah bertemu orang tuanya,” kata Tonny yang mengawali karirnya sebagai periset visual untuk sejumlah film besutan Garin Nugroho, seperti Bulan Tertusuk Ilalang, Puisi Tak Terkuburkan, dan Daun di Atas Bantal.

Kepulangan Renita yang tak terduga oleh keluarga besarnya, karena putus kontak sejak Renita kabur dari rumah, menimbulkan kejutan-kejutan yang tak pernah diprediksi. Tonny yang mengantar Renita dari Jakarta merekam semua kekacauan itu dan jadilah satu film dokumenter lagi yang berjudul Mangga Golek Matang di Atas Pohon (2012).

Menurut Tonny, Renita dan sebagian transgender lain terjerumus ke dunia hitam akibat ruang gerak mereka dibatasi oleh sempitnya cara pandang masyarakat yang terpengaruh framing media. Sejak kecil para transgender sudah mengalami perisakan yang luar biasa sehingga terpaksa putus sekolah.

“Otomatis mereka hanya dapat mengakses pekerjaan yang tidak membutuhkan skill banyak. Kita yang menjadikan mereka seperti itu. Apa ada transgender yang jadi tentara,” kata Tonny yang kini sedang mengerjakan dua film dokumenter Nur (tentang pesantren waria di Jogja) dan Bissu (tentang pemuka agama transgender di Bone) yang ditargetkan selesai pada 2018.

Dengan membuat film dokumenter tentang transgender, Tonny berharap masyarakat memiliki sudut pandang yang lain dalam menilai kehidupan mereka yang selama ini termarjinalkan. “Saya ingin menunjukkan bahwa dunia mereka tidak sesederhana anggapan kita. Persoalan mereka sangat komplek, punya pengalaman yang keras dan pahit. Kehidupan mereka yang tidak pernah tersentuh dan orang tidak pernah melihat itu,” kata dosen tamu sinematografi di sejumlah universitas ternama itu.

Read more
Piala Citra Yang Membuat Tonny Gelisah

sumber foto: rumahdokumenter.com


KLATEN – Piala berwarna keemasan itu baru diambil Tonny Trimarsanto setelah saya meminta dia berpose bersama simbol kemenangannya di ajang penghargaan film tertinggi di Indonesia tersebut. Sebelumnya, selama wawancara berlangsung sekitar satu jam, tidak sedikit pun Tonny menyinggung piala yang menjadi impian para sineas di tanah air itu.

Saat sesi pemotretan, raut wajahnya menunjukkan ekspresi datar ketika menimang piala itu. Seperti tak tersirat rasa bangga pada lelaki 47 tahun itu meski karyanya, Bulu Mata, baru terpilih sebagai pemenang Piala Citra kategori film dokumenter panjang terbaik dalam penganugerahan Festival Film Indonesia (FFI) 2017 di Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu, 11 November 2017.

“Karena (piala) ini saya khawatir film Bulu Mata jadi tambah terkenal dan sampai ke Aceh,” kata Tonny saat saya bertandang ke Rumah Dokumenter di komplek Perumahan Griya Prima, Kecamatan Klaten Utara, Kabupaten Klaten, pada Selasa malam, 14 November 2017.

Rumah Dokumenter adalah sebutan untuk tempat tinggal Tonny bersama istri dan tiga anaknya. Di rumah berdesain unik tersebut, yang memadukan arsitektur Jawa berupa pendopo luas untuk ruang depan dan gaya modern-minimalis di ruang tengah dan belakang, Tonny menggembleng para sineas muda dari berbagai daerah yang berminat menekuni film dokumenter tanpa memungut biaya.

Pada 2015, Rumah Dokumenter bekerja sama dengan Suarakita membuat film dokumenter untuk mengkampanyekan hak-hak kaum minoritas. Suarakita adalah salah satu organisasi dari Jakarta yang aktif menyuarakan perlindungan hak-hak LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).

Film yang dikerjakan Tonny selama 1,5 tahun itu diberi judul Bulu Mata. Film yang diedarkan secara terbatas sejak 2016 itu merekam keseharian tujuh transgender dari Kabupaten Bireun, Aceh, dalam mempertahankan eksistensi sekaligus memperjuangkan hak mereka sebagai manusia merdeka di tengah sistem masyarakat yang diatur ketat oleh norma agama.

Pada malam penganugerahan Festival Film Indonesia (FFI) 2017, film berdurasi 61 menit itu berhasil menyisihkan lima film lain yang masuk nominasi kategori film dokumenter panjang terbaik, salah satunya film Banda: The Dark Forgotten Trail karya Jay Subyakto.

Saat mendapat tawaran membuat film dokumenter bersama Suarakita, Tonny mengatakan, ide awalnya langsung tertuju pada pesantren waria di Jogja. Dekatnya jarak antara Klaten dan Jogja menjadi salah satu pertimbangan dia mengingat terbatasnya dana yang tersedia.

Sutradara film dokumenter yang karya-karyanya telah malang melintang di festival film internasional itu mengaku telah melakukan serangkaian riset materi visual di Jogja. “Tapi akhirnya kami putuskan membuat film di luar Jawa. Karena persoalan identitas di Jawa sudah selesai. Mau jadi waria atau apa saja terserah. Tapi tidak demikian di luar Jawa,” kata Tonny.

Singkat cerita, Aceh dipilih sebagai lokasi pembuatan film yang bertujuan untuk mengikis stigma buruk yang selama ini melekat dalam kehidupan kaum transgender. Sebab, Aceh dikenal sebagai daerah yang cukup keras dalam membatasi ruang gerak mereka. Di Aceh, Tonny sebelumnya juga pernah membuat film dokumenter panjang yang berjudul Serambi (2006).

Dengan harapan lebih mudah menemukan komunitas transgender di pusat kota, Tonny mengawali risetnya di Banda Aceh. “Ternyata transgender di Banda Aceh berasal dari berbagai kabupaten. Artinya, mereka susah untuk dikoordinir secara film,” kata Tonny.

Berbekal hasil riset serta informasi dari jaringan Suarakita, Tonny pun berpindah ke Bireun. Di kabupaten yang berjarak tempuh sekitar 4 - 5 jam dari Banda Aceh itu, dia berjumpa dengan komunitas transgender yang lebih solid. Komunitas itu terdiri dari tujuh orang. Mereka tinggal di sebuah rumah sekaligus salon kecantikan yang dikelola bersama.

Tujuh transgender dari berbagai desa di Bireun itu rata-rata memiliki pengalaman pahit yang sama, yaitu kerap mendapat perlakuan buruk dari keluarganya sejak kecil. Mereka dianggap menyimpang dari kodrat karena terlahir dalam fisik laki-laki namun kepribadiannya lebih cenderung perempuan.

Bagi Tonny, proses membuat film Bulu Mata lebih mudah jika dibandingkan dengan film Renita, Renita. Sebab, dia tinggal memanfaatkan jaringan Suarakita yang sudah terbentuk di Aceh. “Renita, Renita itu film pertama saya tentang LGBT. Tidak ada NGO yang terlibat. Jadi saya harus menembus komunitas mereka sendiri, mencari sendiri karakter yang mau diajak membuat film,” kata Tonny.

Meski dimudahkan oleh jaringan Suarakita, Tonny tetap membutuhkan riset selama setahun sebelum memulai proses produksi film yang berlangsung sekitar enam bulan. “Selama 1,5 tahun saya bolak-balik, Bireun - Klaten. Di Bireun tiga pekan, pulang. Besok kesana lagi,” kata Tonny. Di Bireun, Tonny menumpang menginap di rumah salon komunitas transgender itu.

Menurut Tonny, para transgender itu hidup normal seperti orang pada umumnya. Mereka selalu aktif bersosialisasi dengan warga sekitar. Bahkan, salon kecantikan mereka terbilang lebih laris dibandingkan salon lain yang memperjakan wanita. “Penghasilan mereka rata-rata Rp 20 juta per bulan,” kata Tonny.

*

Jangan dibayangkan proses pembuatan film dokumenter Bulu Mata itu melibatkan banyak kru layaknya produksi film fiksi. Karena keterbatasan dana, seluruh proses pembuatan film dikerjakan Tonny seorang diri. “Saya shooting sendiri, bawa lampu sendiri, nge-sound sendiri, tinggal di sana sendiri. Karena tidak ada uang saja. Konsepnya kan sharing (dana) dengan teman-teman Suarakita. Kalau ada uang mending saya bayar kameraman, soundman, dan lain-lain,” kata Tonny sambil tertawa.

Selain menghemat dana, Tonny berujar, penggunaan piranti yang simpel menjadi salah satu kunci sukses dalam pembuatan film dokumenter. “Saya cuma pakai satu kamera SLR Canon 5D dan satu kamera Go Pro untuk standby. Orang sekarang sudah tidak risih dengan kamera, apalagi cuma kamera foto. Tapi kalau pakai kamera video yang gede malah repot,” ujar Tonny.

Dengan kamera SLR, Tonny menjadi leluasa bergerak selama mengikuti kegiatan para transgender itu di tengah masyarakat. Seperti tak mempedulikan kehadiran Tonny dan kameranya, beberapa orang tak canggung mencemooh Jeihan dan Dilla (bukan nama sebenarnya) saat berbelanja di pasar tradisional.

Seolah kebal dengan kekerasan verbal yang hampir selalu melekat di sepanjang perjalanan hidup mereka, dua transgender muda berambut panjang dengan riasan tebal itu memilih diam. Mereka terus berjalan dan tak henti menyunggingkan senyum.

Namun, tidak sedikit pula pedagang yang melayani dengan baik tanpa memandang jijik pada dua transgender yang mengenakan kaos, celana panjang ketat, dan selendang pengganti jilbab itu. Ada juga seorang perempuan paruh baya yang mengenal keduanya dan meluangkan waktu sejenak untuk sekadar menanyakan kabar. Kisah tersebut menjadi pembuka film Bulu Mata yang diputarkan Tonny secara khusus untuk Tempo di komputer ruang kerjanya.

Meski kaum transgender rentan mengalami diskriminasi di Aceh, Tonny mengklaim tidak mengalami kendala yang berarti selama membuat film Bulu Mata. Selama 1,5 tahun di Bireun, dia tidak pernah bertemu dengan polisi syariah. “Saya shooting di sana aman-aman saja. Aceh tidak seperti yang kita bayangkan. Di sana sebenarnya sama seperti kota-kota lain di Indonesia,” kata Tonny.

Kendati demikian, Tonny mengaku tercekat setelah mendengar adanya peraturan baru di Bireun yang melarang hal ihwal transgender dan salon kecantikan. Peraturan itu tiba-tiba muncul saat proses produksi film Bulu Mata hampir rampung pada awal 2016.

Peraturan tersebut, kata Tonny, pada intinya melarang salon mempekerjakan transgender dan perempuan tidak boleh ke salon yang dikelola transgender. Peraturan yang semakin mengekang ruang gerak transgender dalam mencari penghidupan yang layak itu menjadi salah satu alasan Tonny untuk tidak akan pernah memutar atau mengizinkan film Bulu Mata diputar di Aceh.

“Demi keamanan narasumber saya. Itu etika saya sebagai pembuat film dokumenter untuk melindungi mereka,” kata Tonny. Bahkan, dia berencana segera menghapus trailer film Bulu Mata yang diunggah di Youtube meski penontonnya masih bisa dihitung dengan jari.

Read more
Rabu, 09 Januari 2019
Rumah Dokumenter Tonny Trimarsanto

Tonny Trimarsanto dan Piala Citra 2017 

KLATEN - Berpengalaman sebagai periset materi visual dan penata artistik untuk sejumlah film layar lebar besutan sutradara Garin Nugroho sejak 1992 - 2000 membuat Tonny Trimarsanto tertantang untuk mencoba pengalaman lain meski masih dalam satu jalur, yakni di dunia film dokumenter.

"Awalnya cuma coba-coba karena penasaran, kenapa film dokumenter di Indonesia tidak sepopuler film-film fiksi atau animasi," kata Tonny saat ditemui Tempo di rumahnya di Perumahan Griya Prima Barat, Kelurahan Belang Wetan, Kecamatan Klaten Utara, Kabupaten Klaten, pada Kamis, 6 Desember 2018.

Selain sebagai sutradara film dokumenter yang kerap meraih penghargaan di festival film internasional, Tonny, 48 tahun, juga dikenal sebagai pendiri Rumah Dokumenter. Didirikan sejak 2002, Rumah Dokumenter adalah sebuah lembaga yang bergerak dalam produksi film dokumenter, mendorong pertumbuhan jejaring dan apresiasi film dokumenter, serta pendidikan untuk film dokumenter.

Namun, jangan membayangkan Rumah Dokumenter layaknya production house atau lembaga resmi pada umumnya di mana anda akan disambut ruangan-ruangan yang berpendingin udara. "Kantornya Rumah Dokumenter itu di dunia maya. Kalau bangunan fisiknya ya di rumah ini," kata Tonny menunjukkan rumahnya yang nyentrik, memadukan arsitektur Jawa berupa pendopo cukup luas untuk ruang tamu dan gaya modern minimalis pada ruang tengah dan belakangnya. 

Tonny mengatakan, rumah yang dia tinggali bersama istri dan tiga anaknya itu semacam tempat singgah bagi siapa saja yang ingin sekadar mengenal hingga benar-benar menyelami dunia film dokumenter. "Di rumah ini siapapun boleh mampir, mau sekadar transit atau menginap, dan belajar bersama membuat film dokumenter. Semuanya gratis, tapi fasilitas seadanya," kata Tonny.

Meski sering kedatangan rombongan pelajar dan mahasiswa dalam program magang atau praktik kerja lapangan (PKL), Rumah Dokumenter belum memiliki sistem kelas reguler. "Dulu pernah buka kelas ide, kelas kreatif, teknik kamera, editing, dan lain-lain. Tapi masih belum nemu format yang tepat karena masih penjajakan, mengingat film dokumenter belum populer. Tapi ada arah ke sana," kata Tonny. 

Hingga kini Rumah Dokumenter masih setia bertahan pada perannya sebagai teman berbagi untuk para calon sineas muda dalam menumbuhkan ide menjadi cerita yang menarik lantas mengemasnya dalam karya film dokumenter. "Jadi semacam sharing partner. Magang di sini harus jadi karya, bukan cuma latihan kerja. Kalau soal teknis kan bisa dipelajari siapapun dengan mudah di internet," kata Tonny.

Setelah selesai membuat karya film dokumenter, para pelajar atau mahasiswa itu diwajibkan mengadakan screening film di Rumah Dokumenter. "Mereka saya minta mengundang teman sebanyak-banyaknya. Setelah itu silakan dipresentasikan lalu didiskusikan. Biar pada berani bicara mengutarakan pendapat atau gagasan. Saya hanya menonton saja," kata Tonny.

Beberapa bulan lalu, ada satu mahasiswi dari Institut Seni Indonesia Denpasar Bali yang mondok di Rumah Dokumenter selama dua bulan untuk membuat karya tentang pengalamannya mengunjungi dan beribadah di sejumlah pura di Klaten. "Karyanya menarik. Dia menemukan banyak perbedaan dalam peribadatan di pura di Klaten dan di Bali. Film itu untuk tugas PKL,” kata Tonny.

Dengan menempatkan Rumah Dokumenter sebagai teman berbagi, Tonny tidak pernah menganjurkan para binaannya membuat karya dengan mengikuti patokan standar kualitas produksi Rumah Dokumenter. Namun, Tonny selalu berpesan kepada binaannya untuk membuat karya yang berbeda, mengangkat tema yang jarang disentuh, tapi tetap mengandung muatan universal.

“Saya tidak mengarahkan, misalnya, harus begini alur ceritanya atau bagaimana cara mengambil gambarnya. Karena itu karya mereka. Banyak yang ke sini hanya demi memenuhi tugas studi. Tapi ada juga yang punya talenta di film dokumenter dan masih sering konsultasi ke sini,” kata Tonny.

Demi menjaga kesinambungan Rumah Dokumenter di sela kesibukannya sebagai pembuat film, juri, kurator, pemateri, dan lain-lain, Tonny membuat grup WhatsApp bagi para binannya sebagai ajang berbagi. “Di grup WhatsApp itu saya sering sharing agenda-agenda seputar film dokumenter hingga informasi tentang festival di luar negeri. Kalau tertarik ya silakan ikut,” kata Tonny.

*
Rumah Dokumenter awalnya adalah sebuah komunitas pelaku film dokumenter yang digawangi Tonny, Heru Mataya, Dani Cupluk, beserta sejumlah praktisi dan akademisi dari Solo Raya dan DIY. Mereka mengusung misi mempopulerkan genre film dokumenter khususnya di Solo Raya.

Sejak didirikan pada 2002, Rumah Dokumenter memiliki kegiatan screening film dokumenter reguler dengan lokasi berpindah-pindah di lingkup Kota Solo. Tiap bulan, para anggota Rumah Dokumenter mengumpulkan karya film dokumenter untuk dikurasi sesuai tema tertentu yang berbeda-beda.

Selain rutin memutar film-film dokumenter, Rumah Dokumenter juga sering menggelar diskusi dengan menghadirkan para pembuat film sebagai pembicara. “Dulu dananya bantingan (patungan) karena tanpa sponsor,” kata Tonny.

Seiring berjalannya waktu, kegiatan screening film reguler itu berangsur mengendur karena para pegiat Rumah Dokumenter mulai sibuk dengan prioritas masing-masing. Namun, hingga kini Tonny masih setia mempertahankan tradisi screening film di rumahnya meski intensitasnya tidak sepadat saat tahun-tahun awal berdirinya Rumah Dokumenter.

“Sampai sekarang film dokumenter masih kurang populer. Banyak yang beranggapan perjalanan film dokumenter hanya sampai pada festival. Pasar film dokumenter masih kecil dan di luar (negeri). Tapi kalau bisa konsisten ya lumayan hasilnya. Di sinilah tantangannya,” kata Tonny.

Namun, Tonny optimistis masa depan film dokumenter di Indonesia akan semakin bersinar pada kurun lima sampai sepuluh tahun mendatang. “Sekarang pemerintah tidak hanya mendukung film fiksi saja, dokumenter juga. Sekarang juga semakin banyak jurusan broadcast, jadi dari awal sudah tahu apa itu film dokumenter,” kata Tonny.

Read more
Nyanyian Akar Rumput Menolak Lupa

Suasana pemutaran film Nyanyian Akar Rumput di ruang sinema Omah Sinten Heritage Hotel & Resto, Kota Solo, pada Sabtu malam, 15 Desember 2018. 

Nyanyian Akar Rumput memenangkan Piala Citra 2018 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik. Yuda Kurniawan merekam kisah keluarga Wiji Thukul dan mengingatkan pemerintah masih punya utang penuntasan kasus penghilangan paksa para aktivis pro-demokrasi pada 1997 - 1998.

Kesan gagah dari setelan jas dan dasi hitam yang dikenakannya tak mampu menyamarkan grogi. “Pak, eh Jar, iki kanggo (ini untuk) bapakmu Jar,” kata Yuda Kurniawan sambil mengangkat Piala Citra saat menyampaikan ucapan terima kasih setelah karyanya, Nyanyian Akar Rumput, terpilih sebagai film dokumenter panjang terbaik pada malam penganugerahan Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2018 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 9 Desember 2018.

Jar yang disebut Yuda adalah Fajar Merah, putra bungsu Wiji Thukul; penyair da8n aktivis asal Kota Solo yang hilang entah kemana rimbanya sejak Tragedi Mei 1998. Fajar bisa dibilang sebagai tokoh utama dalam film berdurasi 107 menit itu. Fajar tidak ikut ke Jakarta karena ada jadwal manggung bersama bandnya, Merah Bercerita. 

Meski awalnya tampak canggung, di atas panggung kehormatan itu Yuda menyampaikan pesannya dengan lugas. “Award ini saya persembahkan untuk keluarga Wiji Thukul dan keluarga korban penghilangan paksa. Semoga pemerintah segera bisa menyelesaikan kasus-kasus ini,” kata sineas kelahiran Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, pada 8 Oktober 1982 itu.

Saat menyaksikan malam penganugerahan Piala Citra 2018 yang disiarkan langsung di Metro TV, saya tidak mengira bakal dapat menonton Nyanyian Akar Rumput. Sebab, film dokumenter tidak seperti film fiksi yang mudah ditonton di televisi, bioskop, atau di situs-situs penyedia film gratisan.

Setahun lalu, demi menonton Bulu Mata yang memenangkan Piala Citra 2017 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik, saya harus bertamu ke rumah sineasnya Tonny Trimarsanto. Rumah Tonny di Perumahan Griya Prima, Kabupaten Klaten, hanya sekitar 12 kilometer dari rumah saya. Film yang merekam kisah tujuh orang transgender di salon kecantikan di Aceh itu saya tonton langsung di komputer Tonny di ruang kerjanya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pada Sabtu siang, 15 Desember, sepekan setelah penganugerahan Piala Citra 2018, saya mendapat undangan via WhatsApp dari Solo Documentary (SODOC) untuk menonton Nyanyian Akar Rumput di Omah Sinten Heritage Hotel & Resto di Jalan Diponegoro, Ngarsopuro, Solo. Tak mau kehilangan kesempatan langka itu, sorenya saya pacu sepeda motor menempuh satu jam perjalanan dalam gerimis.

Ini pengalaman pertama saya menonton film dokumenter berbayar. Harga tiketnya Rp 20.000 untuk  40 orang pemesan pertama sebelum hari pemutaran. Di lokasi acara, harga tiketnya Rp 25.000. Layaknya konser musik, pemutaran film itu menerapkan sistem open gate. Pintu ruang sinema dibuka pukul 18.00. Penonton pun bergegas menempati saf terdepan, duduk bersila beralas karpet.

Karena filmnya baru diputar pukul 19.30, saya manfaatkan sisa waktu untuk menemui Yuda. Berkaos hitam dan celana jeans, Yuda tampak lebih muda dari yang saya lihat di layar kaca. Dia sedang sibuk merekam penonton yang berdatangan dan mengisi daftar hadir sebelum pemutaran film.

“Puas. Hampir semua penontonnya anak muda. Semoga film ini menambah referensi mereka tentang Indonesia di masa lalu,” kata Sarjana Ilmu Komunikasi lulusan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada 2006 itu.

Disinggung tentang penampilannya di malam penganugerahan Piala Citra 2018, Yuda tersenyum. “Agak grogi saat itu karena kategori film dokumenter jadi pembuka. Acara sudah dimulai, saya masih merokok di luar,” kata pendiri Rekam Docs, perkumpulan pegiat film dokumenter di Jakarta, itu.

Nyanyian Akar Rumput adalah karya keduanya yang masuk nominasi FFI untuk kategori film dokumenter panjang. Karya sebelumnya, Balada Bala Sinema, masuk nominasi FFI 2017. Meski tidak meraih Piala Citra, film itu diputar di sejumlah festival film nasional dan internasional.

Sedangkan Nyanyian Akar Rumput diputar perdana dan ikut berkompetisi di 23rd Busan International Film Festival 2018 pada 4 - 13 Oktober. Di 13th Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018, 27 November - 4 Desember, Nyanyian Akar Rumput berhasil memenangkan NETPAC Award, penghargaan untuk pembuat film dari Asia yang karyanya berkontribusi terhadap perkembangan sinema di Asia Pasifik. “Nyanyian Akar Rumput juga sudah saya daftarkan ke berbagai festival film internasional 2019,” kata Yuda.


Fajar Merah, putra bungsu Wiji Thukul, mengucapkan terima kasih kepada para penonton seusai pemutaran film Nyanyian Akar Rumput di ruang sinema Omah Sinten Heritage Hotel & Resto, Kota Solo, pada Sabtu malam, 15 Desember 2018.
Harapan Dari Jokowi

Judul Nyanyian Akar Rumput diambil Yuda dari judul buku kumpulan puisi Wiji Thukul yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama pada 2014. Yuda memilih judul itu karena mewakili garis besar cerita filmnya, yaitu tentang perjuangan Fajar dan Merah Bercerita yang menggelorakan semangat menolak lupa terhadap kasus hilangnya Wiji Thukul dengan cara melagukan puisi-puisinya.

Nyanyian Akar Rumput, yang digarap sejak awal 2014 sampai Maret 2018, dibuka dengan penampilan Merah Bercerita dalam acara penyambutan mahasiswa baru di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Solo pada 2014. "Kalian tahu Marsinah, Munir, Wiji Thukul? Mereka dibunuh! Tapi mereka masih hidup," kata Fajar sebelum menyanyikan Kebenaran Akan Terus Hidup dengan gitar akustik.

Kebenaran Akan Terus Hidup adalah salah satu puisi Wiji Thukul yang dibukukan dengan judul yang sama oleh YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia) dan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) pada 2007. Kebenaran Akan Terus Hidup merupakan lagu yang paling populer di awal karir Merah Bercerita.

Di film itu, Fitri Nganthi Wani mengatakan Fajar tidak punya kenangan tentang sosok ayahnya. Wani adalah anak sulung Wiji Thukul. Mengikuti jejak bapaknya sebagai penyair, Wani telah meluncurkan dua kumpulan puisi, Selepas Bapakku Hilang (2009) dan Kau Berhasil Jadi Peluru (2018), dan satu kumpulan cerpen Choco Jasmine (2018).

Fajar lahir pada 22 Desember 1995. Sebelum Wiji Thukul menghilang, Fajar jarang bertemu dengan bapaknya yang aktif dalam pergerakan melawan rezim Orde Baru. Menurut Wani, Fajar awalnya marah jika bakat bermusiknya dikaitkan dengan darah seniman dari Wiji Thukul. Tapi di sisi lain Fajar juga penasaran kenapa banyak orang mengelu-elukan bapaknya.

Sejak itulah Fajar mempelajari bapaknya lewat warisan buku-buku puisinya. Terpikat pada puisi-puisinya yang melantangkan suara rakyat kecil dengan gaya bahasa sederhana, Fajar yang hobi bermain gitar itu mencoba menggubahnya jadi lagu. Pada 2010, Fajar dan teman-temannya semasa sekolah di SMK Negeri 8 Surakarta membentuk band Merah Bercerita.

Pada 2015, band indie yang digawangi Fajar (vokalis, gitar), Gandhiasta Andarajati (gitar), Yanuar Arifin (bas), dan Lintang Bumi (drum) itu merilis album perdana berjudul sama dengan nama bandnya. Album berformat cakram padat itu mengemas sembilan lagu, empat di antaranya dari puisi Wiji Thukul, yaitu Apa Guna, Derita Sudah Naik Seleher, Kebenaran Akan Terus Hidup, Bunga dan Tembok.

Selain penampilan Merah Bercerita dari panggung ke panggung hingga masuk ke dapur rekaman, Nyanyian Akar Rumput juga merekam keseharian Fajar di rumahnya di Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jebres, Solo. Fajar hampir tidak pernah lepas dari gitar. Tiap menemukan irama dan melodi baru, pemuda kurus berambut gondrong yang putus sekolah sejak kelas 2 SMK itu segera merekamnya dengan ponsel.

Nyanyian Akar Rumput juga menampilkan kehidupan Siti Dyah Sujirah alias Sipon, istri Wiji Thukul, yang membuka usaha jahit pakaian di rumah. Saat film itu dibuat, Sipon sudah vakum dari berbagai aksi yang menuntut penuntasan kasus-kasus pelangaran HAM berat, terutama penghilangan paksa suaminya dan sejumlah aktivis lain.

Meski sudah tidak turun ke jalan seperti yang dilakoninya selama 11 tahun, sejak 2000 - 2011, Sipon masih menyimpan harapan agar Wiji Thukul dapat ditemukan. Harapan Sipon yang hampir redup, karena perjuangannya bersama para aktivis pegiat HAM selalu membentur tembok, kembali bersinar saat menjelang Pemilihan Presiden 2014.

“Mbak Sipon saat itu begitu besar antusiasmenya dalam mendukung Joko Widodo, calon presiden yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,” kata Yuda. Sebab, Jokowi mengusung salah satu program prioritas penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dalam kampanyenya. “Sedangkan lawan Jokowi, Prabowo Subianto, adalah mantan Komandan Jenderal Kopassus dan mantan Pangkostrad di era Orde Baru dengan latar belakang cukup complicated soal HAM,” kata Yuda.

Besarnya antusiasme Sipon menyambut Pemilihan Presiden 2014 tampak dalam adegan Sipon memamerkan kaos-kaos buatannya yang bersablon siluet wajah Jokowi dan bertuliskan daftar alasan harus memilih Jokowi. “Kaos ini dijual Rp 75.000. Kadang kami berikan gratis buat yang nggak mampu beli,” kata Sipon.

Di sela kesibukannya menjahit, Sipon tak pernah absen dari televisi 14 inchinya yang menyiarkan berita seputar Pemilu Presiden 2014. Adegan Sipon menonton televisi diselingi dokumentasi kampanye Jokowi dan Prabowo, pelantikan Jokowi sebagai presiden, hingga reaksi marah Prabowo dan pendukungnya, yang semuanya direkam Yuda di Jakarta. Yuda juga menampilkan beberapa potongan video demonstrasi mahasiswa di Jakarta pada 1998.

Tak ubahnya film fiksi, Nyanyian Akar Rumput juga mengaduk-aduk perasaan penontonnya. Beberapa penonton di samping saya bahkan sampai mengusap air mata. Namun, film itu juga sesekali memancing gelak tawa karena celotehan khas Fajar yang humoris.

Momen haru terjadi ketika film itu menampilkan rekaman penyerahan piagam penghormatan Yap Thiam Hien Award pada 17 Desember 2002. Piagam itu dipersembahkan kepada Wiji Thukul atas komitmennya dalam memperjuangkan HAM di Indonesia. Ibu Wiji Thukul, Sayem Harjo Suwito (meninggal pada 2017), bercucuran air mata saat panitia menyerahkan piagam berpigura. Setelah itu, giliran Sipon menangis hingga pingsan seusai menjawab pertanyaan jurnalis.


Dyah Sujirah alias Sipon, istri Wiji Thukul, menerima nasi tumpeng dari Yuda Kurniawan seusai pemutaran film Nyanyian Akar Rumput di ruang sinema Omah Sinten Heritage Hotel & Resto, Kota Solo, pada Sabtu malam, 15 Desember 2018. Nasi tumpeng itu sebagai wujud syukur Yuda Kurniawan karena Nyanyian Akar Rumput memenangkan Piala Citra 2018 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik.

Berawal Dari Stensilan

Ide membuat film dokumenter tentang keluarga Wiji Thukul, terutama Fajar dan Merah Bercerita, bercokol di benak Yuda sejak 2012. Gara-garanya, Yuda membaca berita di internet tentang kesibukan mereka dalam mempersiapkan album perdananya. Sejak itulah, sebagai pengagum karya Wiji Thukul sekaligus pecinta musik, Yuda merasa menemukan jalan untuk menggabungkan dua hal itu dalam satu film dokumenter.

"Waktu masih kuliah, saya sering membaca puisi Wiji Thukul dari stensilan yang dibawa om saya. Dulu saya juga punya band, tapi bubar. Sebagai gantinya saya punya cita-cita membuat film dokumenter musik," kata Yuda yang berkecimpung di dunia audio visual sebagai editor dan sutradara sejak 2003.

Yuda, yang tinggal di Jakarta, pertama menyaksikan penampilan Merah Bercerita di ASEAN Literary Festival (ALF) 2014 di Taman Ismail Marzuki pada 21 - 23 Maret 2014. Sejak itu, Yuda semakin jatuh cinta pada Merah Bercerita dan terus mengikuti perkembangan mereka di media sosial sambil menunggu momentum yang tepat untuk mengeksekusi idenya.

Momentum yang dinanti Yuda baru muncul saat dinamika politik di Indonesia menghangat jelang Pemilihan Presiden 2014. “Saat itu Merah Bercerita mulai sibuk mengurus persiapan rekaman album perdananya. Kebetulan Mbak Sipon juga sedang bersemangat mendukung Jokowi,” kata Yuda yang memulai riset dan pendekatan ke keluarga Wiji Thukul sejak awal 2014.

Sebagai teman Lexy Junior Rambadeta, Yuda tidak sulit mendapatkan akses ke keluarga Wiji Thukul. Lexy adalah pembuat film dokumenter Batas Panggung (2004) yang di dalamnya juga merekam keluarga Wiji Thukul. Dari Lexy pula Yuda memperoleh banyak file video masa kecil Fajar dan Wani dalam format mini-DV. Dari Sipon, Yuda mendapatkan beberapa koleksi foto dan video aktivitas Wiji Thukul dalam format VHS.

“Mbak Sipon langsung welcome karena saya datang sebagai teman Lexy sekaligus fansnya Fajar,” kata Yuda. Selama proses pengambilan gambar, Yuda bolak-balik Jakarta - Solo sejak 2014 - 2017. Tiap ke Solo, Yuda menginap di rumah Sipon. Sebagai basecamp Merah Bercerita, rumah sempit di permukiman padat penduduk itu selalu ramai. Yuda biasa tidur di kamar Fajar atau di ruang tamu.

“Tiap ke Solo saya bisa sampai 1 - 2 pekan. Kalau Merah Bercerita ada jadwal manggung ke luar kota saya ikut. Kalau sudah kehabisan ide di Solo, saya ke Purbalingga mengerjakan Balada Bala Sinema. Jadi dalam tiga tahun itu rute hidup saya hanya Jakarta - Solo - Purbalingga,” kata Yuda. Selama tiga tahun mengambil gambar, Yuda mengumpulkan file video hingga dua terabyte. “Durasi totalnya ratusan jam. Editing-nya setahun saya kerjakan sendiri,” kata Yuda.

Meski Nyanyian Akar Rumput memberikan porsi lebih banyak untuk Fajar dan Merah Bercerita, Yuda juga mengorek informasi hal ihwal Wiji Thukul dari Sipon. Bagi Yuda, mewawancarai Sipon adalah bagian terberat dalam proses pembuatan filmnya. Sebab, hilangnya Wiji Thukul masih meninggalkan trauma mendalam bagi Sipon.

“Sebagai pembuat film saya harus mengabarkan itu. Kalau kondisinya sedang tidak baik, Mbak Sipon menjawab panjang lebar, saya musti pelan-pelan mengingatkan agar kembali ke inti pertanyaan. Kalau mood Mbak Sipon sedang nggak banget, saya berhenti. Orang Jawa bilang kudu ngerti wayahe (musti tahu waktu yang tepat),” kata Yuda yang tumbuh dan besar di Banyuwangi, Jawa Timur.


Fajar Merah saat tampil di kafe Lokal Jajan Klaten pada 30 Agustus 2018
Bukan kampanye

Menurut Wani, Nyanyian Akar Rumput bukanlah film yang berupaya menggiring opini penonton untuk menentukan pilihan menjelang Pemilihan Presiden 2019 yang mengulang kembali pertarungan antara Jokowi dan Prabowo. Meski banyak menampilkan potongan dokumentasi kampanye Jokowi pada 2014 dan pernyataan dukungan Sipon, Wani mengatakan, semua itu hanya realitas pada masa filmnya dibuat, bukan cerminan realitas sekarang.

“Harusnya beliau (Jokowi) yang ditanya, bukan kami selaku keluarga Wiji Thukul,” kata Wani menjawab pertanyaan seorang penonton dalam sesi diskusi seusai pemutaran Nyanyian Akar Rumput. Penonton itu menanyakan apakah keluarga Wiji Thukul masih menaruh harapan pada Jokowi dalam hal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang ternyata masih jalan di tempat selama empat tahun pemerintahannya.

Selama 20 tahun ayahnya menghilang, Wani berujar, banyak pelajaran yang dia dapatkan. Salah satu pelajaran itu dia torehkan pada tato di jari tengah tangannya: hope is destroyer. “Ini nyata, karena harapan keluarga kami selalu dipermainkan. Buat saya pribadi fuck off lah sama besok (Pemilihan Presiden) 2019,” kata Wani.

Bagi Sipon, lamanya proses pembuatan film Nyanyian Akar Rumput sama melelahkannya dengan perjalanan panjang yang dia tempuh selama mencari keadilan untuk Wiji Thukul. “Saya pernah bilang ke Mas Yuda, ini sampai kapan kok ra rampung-rampung (nggak selesai-selesai),” kata Sipon sambil menggendong Safa, cucu pertamanya dari Wani.

Menyaksikan Nyanyian Akar Rumput juga menguras banyak kenangan pahit Sipon, di antaranya ketika hendak menikahkan Wani. Pesta pernikahan Wani dihadiri Jokowi semasa masih menjabat Wali Kota Solo. “Saat itu petugasnya tanya di mana bapaknya. Saya jawab bapaknya hilang. Ditanya lagi, kok bisa hilang memangnya ditaruh di mana. Saat itu sakit sekali hati saya,” kata Sipon.

Meski janji pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat belum terwujud, Sipon mengaku tidak pernah lelah berharap akan datangnya keadilan serta kepastian keberadaan Wiji Thukul, hidup atau mati. “Pada 2011, negara (Komnas HAM) sudah menyatakan Wiji Thukul dihilangkan secara paksa. Artinya negara sudah mengakui. Tapi ini belum selesai,” kata Sipon.

Fajar mengucapkan terima kasih pada Yuda karena Nyanyian Akar Rumput, yang membuatnya penasaran selama empat tahun, berhasil membuatnya terharu dan rindu pada masa perjuangan Merah Bercerita. “Walaupun banyak jeda kami tidak berhenti berproses. Semoga tahun depan kami bisa merilis album kedua,” kata Fajar.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vinisa Nurul Aisyah, mengatakan Nyanyian Akar Rumput muncul pada momentum yang tepat untuk mengingatkan publik bahwa pemerintah masih punya utang dalam hal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. “Karena ada kemungkinan kasus-kasus pelanggaran HAM tidak lagi menjadi isu utama di kampanye Pemilihan Presiden 2019,” kata Vinisa yang malam itu turut berjubel bersama sekitar 90 penonton yang didominasi mahasiswa.

Yuda menambahkan, ada dua baris dalam lagu puisi Kebenaran Akan Hidup yang mengena di hatinya sehingga dia selalu enjoy selama pembuatan film Nyanyian Akar Rumput: Aku akan tetap ada dan berlipat ganda /Siapkan barisan dan siap untuk melawan.

Menurut Yuda, ramalan Wiji Thukul dalam dua baris puisi itu sudah terwujud. Selain lewat Fajar dengan Merah Bercerita dan Wani dengan puisi-puisinya, Wiji Thukul masih terus hidup dalam diskusi-diskusi, karya-karya jurnalistik, karya ilmiah, buku-buku, hingga dalam film fiksi dan dokumenter.

Larisnya Istirahatlah Kata-Kata yang diputar di bioskop pada 2017 juga menjadi bukti bahwa Wiji Thukul masih hidup di benak sebagian masyarakat. Istirahatlah Kata-Kata adalah film karya Yosep Anggi Noen yang berdasarkan kisah nyata pelarian Wiji Thukul dari kejaran aparat pada masa Orde Baru.

“Sebagai film yang tidak mainstream, film itu terbilang sukses dengan jumlah penonton mencapai 50.000 orang,” kata Yuda. Demi menyebarluaskan pesan menolak lupa pada kasus penghilangan Wiji Thukul dan sejumlah aktivis 1998, Yuda pun ingin Nyanyian Akar Rumput bisa diputar di bioskop.

“Film dokumenter memang belum populer, tapi nggak ada salahnya dicoba. Memenangkan Piala Citra 2018 jadi awal yang baik, film ini jadi dikenal secara luas,” kata Yuda yang berencana menyumbangkan hadiah dari kemenangannya di FFI 2018 kepada Merah Bercerita untuk proses produksi album kedua mereka.

Selain menyiapkan jadwal pemutaran di sejumlah daerah pada 2019, Yuda mengaku sedang mencari cara agar Nyanyian Akar Rumput bisa ditonton kalangan pemerintah. “Banyak teman Wiji Thukul yang jadi pejabat seperti Budiman Sudjatmiko, anggota DPR dari PDIP. Tentu dia punya akses ke Istana. Pemutaran film ini di Istana Presiden sangat mungkin. Banyak jalan agar film ini ditonton Pak Jokowi,” kata Yuda.




Read more

Recent