|
Suasana pemutaran film Nyanyian Akar Rumput di ruang sinema Omah Sinten Heritage Hotel & Resto, Kota Solo, pada Sabtu malam, 15 Desember 2018. |
Nyanyian Akar
Rumput memenangkan Piala Citra 2018 untuk kategori film dokumenter panjang
terbaik. Yuda Kurniawan merekam kisah keluarga Wiji Thukul dan mengingatkan
pemerintah masih punya utang penuntasan kasus penghilangan paksa para aktivis
pro-demokrasi pada 1997 - 1998.
Kesan gagah dari
setelan jas dan dasi hitam yang dikenakannya tak mampu menyamarkan grogi. “Pak,
eh Jar, iki kanggo (ini untuk) bapakmu Jar,” kata Yuda
Kurniawan sambil mengangkat Piala Citra saat menyampaikan ucapan terima kasih
setelah karyanya, Nyanyian Akar Rumput, terpilih sebagai film dokumenter
panjang terbaik pada malam penganugerahan Piala Citra Festival Film Indonesia
(FFI) 2018 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 9 Desember 2018.
Jar yang disebut
Yuda adalah Fajar Merah, putra bungsu Wiji Thukul; penyair da8n aktivis asal
Kota Solo yang hilang entah kemana rimbanya sejak Tragedi Mei 1998. Fajar bisa
dibilang sebagai tokoh utama dalam film berdurasi 107 menit itu. Fajar tidak
ikut ke Jakarta karena ada jadwal manggung bersama bandnya, Merah
Bercerita.
Meski awalnya tampak
canggung, di atas panggung kehormatan itu Yuda menyampaikan pesannya dengan lugas.
“Award ini saya persembahkan untuk keluarga Wiji Thukul dan
keluarga korban penghilangan paksa. Semoga pemerintah segera bisa menyelesaikan
kasus-kasus ini,” kata sineas kelahiran Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur,
pada 8 Oktober 1982 itu.
Saat menyaksikan
malam penganugerahan Piala Citra 2018 yang disiarkan langsung di Metro TV, saya
tidak mengira bakal dapat menonton Nyanyian Akar Rumput. Sebab, film dokumenter
tidak seperti film fiksi yang mudah ditonton di televisi, bioskop, atau di
situs-situs penyedia film gratisan.
Setahun lalu,
demi menonton Bulu Mata yang memenangkan Piala Citra 2017 untuk kategori film
dokumenter panjang terbaik, saya harus bertamu ke rumah sineasnya Tonny
Trimarsanto. Rumah Tonny di Perumahan Griya Prima, Kabupaten Klaten, hanya sekitar
12 kilometer dari rumah saya. Film yang merekam kisah tujuh orang transgender
di salon kecantikan di Aceh itu saya tonton langsung di komputer Tonny di ruang
kerjanya.
Pucuk dicinta
ulam pun tiba. Pada Sabtu siang, 15 Desember, sepekan setelah penganugerahan
Piala Citra 2018, saya mendapat undangan via WhatsApp dari Solo Documentary
(SODOC) untuk menonton Nyanyian Akar Rumput di Omah Sinten Heritage Hotel &
Resto di Jalan Diponegoro, Ngarsopuro, Solo. Tak mau kehilangan kesempatan
langka itu, sorenya saya pacu sepeda motor menempuh satu jam perjalanan dalam
gerimis.
Ini pengalaman
pertama saya menonton film dokumenter berbayar. Harga tiketnya Rp 20.000
untuk 40 orang pemesan pertama sebelum hari pemutaran. Di lokasi acara,
harga tiketnya Rp 25.000. Layaknya konser musik, pemutaran film itu menerapkan sistem open
gate. Pintu ruang sinema dibuka pukul 18.00. Penonton pun bergegas
menempati saf terdepan, duduk bersila beralas karpet.
Karena filmnya
baru diputar pukul 19.30, saya manfaatkan sisa waktu untuk menemui Yuda. Berkaos
hitam dan celana jeans, Yuda tampak lebih muda dari yang saya lihat di layar
kaca. Dia sedang sibuk merekam penonton yang berdatangan dan mengisi daftar
hadir sebelum pemutaran film.
“Puas. Hampir
semua penontonnya anak muda. Semoga film ini menambah referensi mereka tentang
Indonesia di masa lalu,” kata Sarjana Ilmu Komunikasi lulusan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta pada 2006 itu.
Disinggung
tentang penampilannya di malam penganugerahan Piala Citra 2018, Yuda tersenyum.
“Agak grogi saat itu karena kategori film dokumenter jadi pembuka. Acara sudah
dimulai, saya masih merokok di luar,” kata pendiri Rekam Docs, perkumpulan
pegiat film dokumenter di Jakarta, itu.
Nyanyian Akar
Rumput adalah karya keduanya yang masuk nominasi FFI untuk kategori film
dokumenter panjang. Karya sebelumnya, Balada Bala Sinema, masuk nominasi FFI
2017. Meski tidak meraih Piala Citra, film itu diputar di sejumlah festival
film nasional dan internasional.
Sedangkan
Nyanyian Akar Rumput diputar perdana dan ikut berkompetisi di 23rd
Busan International Film Festival 2018 pada 4 - 13 Oktober. Di 13th
Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018, 27 November - 4 Desember, Nyanyian Akar
Rumput berhasil memenangkan NETPAC Award, penghargaan untuk pembuat film dari
Asia yang karyanya berkontribusi terhadap perkembangan sinema di Asia Pasifik.
“Nyanyian Akar Rumput juga sudah saya daftarkan ke berbagai festival film
internasional 2019,” kata Yuda.
|
Fajar Merah, putra bungsu Wiji Thukul, mengucapkan terima kasih kepada para penonton seusai pemutaran film Nyanyian Akar Rumput di ruang sinema Omah Sinten Heritage Hotel & Resto, Kota Solo, pada Sabtu malam, 15 Desember 2018. |
Harapan Dari Jokowi
Judul Nyanyian
Akar Rumput diambil Yuda dari judul buku kumpulan puisi Wiji Thukul yang
diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama pada 2014. Yuda memilih judul itu karena
mewakili garis besar cerita filmnya, yaitu tentang perjuangan Fajar dan Merah
Bercerita yang menggelorakan semangat menolak lupa terhadap kasus hilangnya
Wiji Thukul dengan cara melagukan puisi-puisinya.
Nyanyian Akar
Rumput, yang digarap sejak awal 2014 sampai Maret 2018, dibuka dengan
penampilan Merah Bercerita dalam acara penyambutan mahasiswa baru di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Solo pada 2014.
"Kalian tahu Marsinah, Munir, Wiji Thukul? Mereka dibunuh! Tapi mereka
masih hidup," kata Fajar sebelum menyanyikan Kebenaran Akan Terus Hidup
dengan gitar akustik.
Kebenaran Akan
Terus Hidup adalah salah satu puisi Wiji Thukul yang dibukukan dengan judul
yang sama oleh YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan
Masyarakat Indonesia) dan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) pada
2007. Kebenaran Akan Terus Hidup merupakan lagu yang paling populer di awal karir
Merah Bercerita.
Di film itu,
Fitri Nganthi Wani mengatakan Fajar tidak punya kenangan tentang sosok ayahnya.
Wani adalah anak sulung Wiji Thukul. Mengikuti jejak bapaknya sebagai penyair,
Wani telah meluncurkan dua kumpulan puisi, Selepas Bapakku Hilang (2009) dan
Kau Berhasil Jadi Peluru (2018), dan satu kumpulan cerpen Choco Jasmine (2018).
Fajar lahir pada
22 Desember 1995. Sebelum Wiji Thukul menghilang, Fajar jarang bertemu dengan
bapaknya yang aktif dalam pergerakan melawan rezim Orde Baru. Menurut Wani,
Fajar awalnya marah jika bakat bermusiknya dikaitkan dengan darah seniman dari
Wiji Thukul. Tapi di sisi lain Fajar juga penasaran kenapa banyak orang
mengelu-elukan bapaknya.
Sejak itulah Fajar
mempelajari bapaknya lewat warisan buku-buku puisinya. Terpikat pada
puisi-puisinya yang melantangkan suara rakyat kecil dengan gaya bahasa
sederhana, Fajar yang hobi bermain gitar itu mencoba menggubahnya jadi lagu.
Pada 2010, Fajar dan teman-temannya semasa sekolah di SMK Negeri 8 Surakarta
membentuk band Merah Bercerita.
Pada 2015, band indie
yang digawangi Fajar (vokalis, gitar), Gandhiasta Andarajati (gitar), Yanuar
Arifin (bas), dan Lintang Bumi (drum) itu merilis album perdana berjudul sama
dengan nama bandnya. Album berformat cakram padat itu mengemas sembilan lagu,
empat di antaranya dari puisi Wiji Thukul, yaitu Apa Guna, Derita Sudah Naik
Seleher, Kebenaran Akan Terus Hidup, Bunga dan Tembok.
Selain penampilan
Merah Bercerita dari panggung ke panggung hingga masuk ke dapur rekaman,
Nyanyian Akar Rumput juga merekam keseharian Fajar di rumahnya di Kelurahan
Jagalan, Kecamatan Jebres, Solo. Fajar hampir tidak pernah lepas dari gitar.
Tiap menemukan irama dan melodi baru, pemuda kurus berambut gondrong yang putus
sekolah sejak kelas 2 SMK itu segera merekamnya dengan ponsel.
Nyanyian Akar
Rumput juga menampilkan kehidupan Siti Dyah Sujirah alias Sipon, istri Wiji Thukul,
yang membuka usaha jahit pakaian di rumah. Saat film itu dibuat, Sipon sudah
vakum dari berbagai aksi yang menuntut penuntasan kasus-kasus pelangaran HAM
berat, terutama penghilangan paksa suaminya dan sejumlah aktivis lain.
Meski sudah tidak
turun ke jalan seperti yang dilakoninya selama 11 tahun, sejak 2000 - 2011,
Sipon masih menyimpan harapan agar Wiji Thukul dapat ditemukan. Harapan Sipon
yang hampir redup, karena perjuangannya bersama para aktivis pegiat HAM selalu
membentur tembok, kembali bersinar saat menjelang Pemilihan Presiden 2014.
“Mbak Sipon saat
itu begitu besar antusiasmenya dalam mendukung Joko Widodo, calon presiden yang
diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,” kata Yuda. Sebab, Jokowi
mengusung salah satu program prioritas penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM
berat masa lalu dalam kampanyenya. “Sedangkan lawan Jokowi, Prabowo Subianto,
adalah mantan Komandan Jenderal Kopassus dan mantan Pangkostrad di era Orde
Baru dengan latar belakang cukup complicated
soal HAM,” kata Yuda.
Besarnya
antusiasme Sipon menyambut Pemilihan Presiden 2014 tampak dalam adegan Sipon
memamerkan kaos-kaos buatannya yang bersablon siluet wajah Jokowi dan
bertuliskan daftar alasan harus memilih Jokowi. “Kaos ini dijual Rp 75.000. Kadang
kami berikan gratis buat yang nggak mampu beli,” kata Sipon.
Di sela kesibukannya
menjahit, Sipon tak pernah absen dari televisi 14 inchinya yang menyiarkan
berita seputar Pemilu Presiden 2014. Adegan Sipon menonton televisi diselingi
dokumentasi kampanye Jokowi dan Prabowo, pelantikan Jokowi sebagai presiden,
hingga reaksi marah Prabowo dan pendukungnya, yang semuanya direkam Yuda di
Jakarta. Yuda juga menampilkan beberapa potongan video demonstrasi mahasiswa di
Jakarta pada 1998.
Tak ubahnya film
fiksi, Nyanyian Akar Rumput juga mengaduk-aduk perasaan penontonnya. Beberapa
penonton di samping saya bahkan sampai mengusap air mata. Namun, film itu juga
sesekali memancing gelak tawa karena celotehan khas Fajar yang humoris.
Momen haru
terjadi ketika film itu menampilkan rekaman penyerahan piagam penghormatan Yap
Thiam Hien Award pada 17 Desember 2002. Piagam itu dipersembahkan kepada Wiji
Thukul atas komitmennya dalam memperjuangkan HAM di Indonesia. Ibu Wiji Thukul,
Sayem Harjo Suwito (meninggal pada 2017), bercucuran air mata saat panitia
menyerahkan piagam berpigura. Setelah itu, giliran Sipon menangis hingga
pingsan seusai menjawab pertanyaan jurnalis.
|
Dyah Sujirah alias Sipon, istri Wiji Thukul, menerima nasi tumpeng dari Yuda Kurniawan seusai pemutaran film Nyanyian Akar Rumput di ruang sinema Omah Sinten Heritage Hotel & Resto, Kota Solo, pada Sabtu malam, 15 Desember 2018. Nasi tumpeng itu sebagai wujud syukur Yuda Kurniawan karena Nyanyian Akar Rumput memenangkan Piala Citra 2018 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik. |
Berawal Dari Stensilan
Ide membuat film
dokumenter tentang keluarga Wiji Thukul, terutama Fajar dan Merah Bercerita,
bercokol di benak Yuda sejak 2012. Gara-garanya, Yuda membaca berita di
internet tentang kesibukan mereka dalam mempersiapkan album perdananya. Sejak
itulah, sebagai pengagum karya Wiji Thukul sekaligus pecinta musik, Yuda merasa
menemukan jalan untuk menggabungkan dua hal itu dalam satu film dokumenter.
"Waktu masih
kuliah, saya sering membaca puisi Wiji Thukul dari stensilan yang dibawa om
saya. Dulu saya juga punya band, tapi bubar. Sebagai gantinya saya punya cita-cita
membuat film dokumenter musik," kata Yuda yang berkecimpung di dunia audio
visual sebagai editor dan sutradara sejak 2003.
Yuda, yang tinggal
di Jakarta, pertama menyaksikan penampilan Merah Bercerita di ASEAN Literary Festival (ALF) 2014 di
Taman Ismail Marzuki pada 21 - 23 Maret 2014. Sejak itu, Yuda semakin jatuh cinta pada Merah
Bercerita dan terus mengikuti perkembangan mereka di media sosial sambil menunggu
momentum yang tepat untuk mengeksekusi idenya.
Momentum yang
dinanti Yuda baru muncul saat dinamika politik di Indonesia menghangat jelang
Pemilihan Presiden 2014. “Saat itu Merah Bercerita mulai sibuk mengurus
persiapan rekaman album perdananya. Kebetulan Mbak Sipon juga sedang bersemangat
mendukung Jokowi,” kata Yuda yang memulai riset dan pendekatan ke keluarga Wiji
Thukul sejak awal 2014.
Sebagai teman
Lexy Junior Rambadeta, Yuda tidak sulit mendapatkan akses ke keluarga Wiji
Thukul. Lexy adalah pembuat film dokumenter Batas Panggung (2004) yang di
dalamnya juga merekam keluarga Wiji Thukul. Dari Lexy pula Yuda memperoleh
banyak file video masa kecil Fajar dan Wani dalam format mini-DV. Dari Sipon,
Yuda mendapatkan beberapa koleksi foto dan video aktivitas Wiji Thukul dalam
format VHS.
“Mbak Sipon
langsung welcome karena saya datang
sebagai teman Lexy sekaligus fansnya Fajar,” kata Yuda. Selama proses
pengambilan gambar, Yuda bolak-balik Jakarta - Solo sejak 2014 - 2017. Tiap ke
Solo, Yuda menginap di rumah Sipon. Sebagai basecamp
Merah Bercerita, rumah sempit di permukiman padat penduduk itu selalu ramai.
Yuda biasa tidur di kamar Fajar atau di ruang tamu.
“Tiap ke Solo
saya bisa sampai 1 - 2 pekan. Kalau Merah Bercerita ada jadwal manggung ke luar
kota saya ikut. Kalau sudah kehabisan ide di Solo, saya ke Purbalingga
mengerjakan Balada Bala Sinema. Jadi dalam tiga tahun itu rute hidup saya hanya
Jakarta - Solo - Purbalingga,” kata Yuda. Selama tiga tahun mengambil gambar,
Yuda mengumpulkan file video hingga dua terabyte. “Durasi totalnya ratusan jam.
Editing-nya setahun saya kerjakan
sendiri,” kata Yuda.
Meski Nyanyian
Akar Rumput memberikan porsi lebih banyak untuk Fajar dan Merah Bercerita, Yuda
juga mengorek informasi hal ihwal Wiji Thukul dari Sipon. Bagi Yuda,
mewawancarai Sipon adalah bagian terberat dalam proses pembuatan filmnya.
Sebab, hilangnya Wiji Thukul masih meninggalkan trauma mendalam bagi Sipon.
“Sebagai pembuat
film saya harus mengabarkan itu. Kalau kondisinya sedang tidak baik, Mbak Sipon
menjawab panjang lebar, saya musti pelan-pelan mengingatkan agar kembali ke
inti pertanyaan. Kalau mood Mbak
Sipon sedang nggak banget, saya berhenti. Orang Jawa bilang
kudu ngerti wayahe (musti tahu waktu
yang tepat),” kata Yuda yang tumbuh dan besar di Banyuwangi, Jawa Timur.
|
Fajar Merah saat tampil di kafe Lokal Jajan Klaten pada 30 Agustus 2018 |
Bukan kampanye
Menurut Wani, Nyanyian Akar
Rumput bukanlah film yang berupaya menggiring opini penonton untuk menentukan
pilihan menjelang Pemilihan Presiden 2019 yang mengulang kembali pertarungan
antara Jokowi dan Prabowo. Meski banyak menampilkan potongan dokumentasi
kampanye Jokowi pada 2014 dan pernyataan dukungan Sipon, Wani mengatakan, semua
itu hanya realitas pada masa filmnya dibuat, bukan cerminan realitas sekarang.
“Harusnya beliau (Jokowi) yang
ditanya, bukan kami selaku keluarga Wiji Thukul,” kata Wani menjawab pertanyaan
seorang penonton dalam sesi diskusi seusai pemutaran Nyanyian Akar Rumput.
Penonton itu menanyakan apakah keluarga Wiji Thukul masih menaruh harapan pada
Jokowi dalam hal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang ternyata
masih jalan di tempat selama empat tahun pemerintahannya.
Selama 20 tahun ayahnya
menghilang, Wani berujar, banyak pelajaran yang dia dapatkan. Salah satu
pelajaran itu dia torehkan pada tato di jari tengah tangannya: hope is destroyer. “Ini nyata, karena
harapan keluarga kami selalu dipermainkan. Buat saya pribadi fuck off lah sama besok (Pemilihan
Presiden) 2019,” kata Wani.
Bagi Sipon,
lamanya proses pembuatan film Nyanyian Akar Rumput sama melelahkannya dengan
perjalanan panjang yang dia tempuh selama mencari keadilan untuk Wiji Thukul.
“Saya pernah bilang ke Mas Yuda, ini sampai kapan kok ra rampung-rampung (nggak selesai-selesai),” kata Sipon sambil
menggendong Safa, cucu pertamanya dari Wani.
Menyaksikan
Nyanyian Akar Rumput juga menguras banyak kenangan pahit Sipon, di antaranya
ketika hendak menikahkan Wani. Pesta pernikahan Wani dihadiri Jokowi semasa
masih menjabat Wali Kota Solo. “Saat itu petugasnya tanya di mana bapaknya.
Saya jawab bapaknya hilang. Ditanya lagi, kok bisa hilang memangnya ditaruh di
mana. Saat itu sakit sekali hati saya,” kata Sipon.
Meski janji
pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat belum terwujud,
Sipon mengaku tidak pernah lelah berharap akan datangnya keadilan serta
kepastian keberadaan Wiji Thukul, hidup atau mati. “Pada 2011, negara (Komnas
HAM) sudah menyatakan Wiji Thukul dihilangkan secara paksa. Artinya negara
sudah mengakui. Tapi ini belum selesai,” kata Sipon.
Fajar mengucapkan
terima kasih pada Yuda karena Nyanyian Akar Rumput, yang membuatnya penasaran
selama empat tahun, berhasil membuatnya terharu dan rindu pada masa perjuangan
Merah Bercerita. “Walaupun banyak jeda kami tidak berhenti berproses. Semoga
tahun depan kami bisa merilis album kedua,” kata Fajar.
Dosen Ilmu
Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vinisa Nurul Aisyah, mengatakan
Nyanyian Akar Rumput muncul pada momentum yang tepat untuk mengingatkan publik
bahwa pemerintah masih punya utang dalam hal penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM berat. “Karena ada kemungkinan kasus-kasus pelanggaran HAM
tidak lagi menjadi isu utama di kampanye Pemilihan Presiden 2019,” kata Vinisa
yang malam itu turut berjubel bersama sekitar 90 penonton yang didominasi
mahasiswa.
Yuda menambahkan,
ada dua baris dalam lagu puisi Kebenaran Akan Hidup yang mengena di hatinya
sehingga dia selalu enjoy selama
pembuatan film Nyanyian Akar Rumput: Aku akan tetap ada dan berlipat ganda /Siapkan
barisan dan siap untuk melawan.
Menurut Yuda,
ramalan Wiji Thukul dalam dua baris puisi itu sudah terwujud. Selain lewat
Fajar dengan Merah Bercerita dan Wani dengan puisi-puisinya, Wiji Thukul masih terus
hidup dalam diskusi-diskusi, karya-karya jurnalistik, karya ilmiah, buku-buku,
hingga dalam film fiksi dan dokumenter.
Larisnya Istirahatlah
Kata-Kata yang diputar di bioskop pada 2017 juga menjadi bukti bahwa Wiji
Thukul masih hidup di benak sebagian masyarakat. Istirahatlah Kata-Kata adalah
film karya Yosep Anggi Noen yang berdasarkan kisah nyata pelarian Wiji Thukul
dari kejaran aparat pada masa Orde Baru.
“Sebagai film
yang tidak mainstream, film itu terbilang
sukses dengan jumlah penonton mencapai 50.000 orang,” kata Yuda. Demi
menyebarluaskan pesan menolak lupa pada kasus penghilangan Wiji Thukul dan
sejumlah aktivis 1998, Yuda pun ingin Nyanyian Akar Rumput bisa diputar di
bioskop.
“Film dokumenter memang
belum populer, tapi nggak ada salahnya dicoba. Memenangkan Piala Citra 2018
jadi awal yang baik, film ini jadi dikenal secara luas,” kata Yuda yang
berencana menyumbangkan hadiah dari kemenangannya di FFI 2018 kepada Merah
Bercerita untuk proses produksi album kedua mereka.
Selain menyiapkan
jadwal pemutaran di sejumlah daerah pada 2019, Yuda mengaku sedang mencari cara
agar Nyanyian Akar Rumput bisa ditonton kalangan pemerintah. “Banyak teman Wiji
Thukul yang jadi pejabat seperti Budiman Sudjatmiko, anggota DPR dari PDIP. Tentu
dia punya akses ke Istana. Pemutaran film ini di Istana Presiden sangat
mungkin. Banyak jalan agar film ini ditonton Pak Jokowi,” kata Yuda.