google-site-verification: google81f2ee356101f507.html Nyanyian Akar Rumput Menolak Lupa - Buruh Nulis
Open top menu
Rabu, 09 Januari 2019

Suasana pemutaran film Nyanyian Akar Rumput di ruang sinema Omah Sinten Heritage Hotel & Resto, Kota Solo, pada Sabtu malam, 15 Desember 2018. 

Nyanyian Akar Rumput memenangkan Piala Citra 2018 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik. Yuda Kurniawan merekam kisah keluarga Wiji Thukul dan mengingatkan pemerintah masih punya utang penuntasan kasus penghilangan paksa para aktivis pro-demokrasi pada 1997 - 1998.

Kesan gagah dari setelan jas dan dasi hitam yang dikenakannya tak mampu menyamarkan grogi. “Pak, eh Jar, iki kanggo (ini untuk) bapakmu Jar,” kata Yuda Kurniawan sambil mengangkat Piala Citra saat menyampaikan ucapan terima kasih setelah karyanya, Nyanyian Akar Rumput, terpilih sebagai film dokumenter panjang terbaik pada malam penganugerahan Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2018 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 9 Desember 2018.

Jar yang disebut Yuda adalah Fajar Merah, putra bungsu Wiji Thukul; penyair da8n aktivis asal Kota Solo yang hilang entah kemana rimbanya sejak Tragedi Mei 1998. Fajar bisa dibilang sebagai tokoh utama dalam film berdurasi 107 menit itu. Fajar tidak ikut ke Jakarta karena ada jadwal manggung bersama bandnya, Merah Bercerita. 

Meski awalnya tampak canggung, di atas panggung kehormatan itu Yuda menyampaikan pesannya dengan lugas. “Award ini saya persembahkan untuk keluarga Wiji Thukul dan keluarga korban penghilangan paksa. Semoga pemerintah segera bisa menyelesaikan kasus-kasus ini,” kata sineas kelahiran Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, pada 8 Oktober 1982 itu.

Saat menyaksikan malam penganugerahan Piala Citra 2018 yang disiarkan langsung di Metro TV, saya tidak mengira bakal dapat menonton Nyanyian Akar Rumput. Sebab, film dokumenter tidak seperti film fiksi yang mudah ditonton di televisi, bioskop, atau di situs-situs penyedia film gratisan.

Setahun lalu, demi menonton Bulu Mata yang memenangkan Piala Citra 2017 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik, saya harus bertamu ke rumah sineasnya Tonny Trimarsanto. Rumah Tonny di Perumahan Griya Prima, Kabupaten Klaten, hanya sekitar 12 kilometer dari rumah saya. Film yang merekam kisah tujuh orang transgender di salon kecantikan di Aceh itu saya tonton langsung di komputer Tonny di ruang kerjanya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pada Sabtu siang, 15 Desember, sepekan setelah penganugerahan Piala Citra 2018, saya mendapat undangan via WhatsApp dari Solo Documentary (SODOC) untuk menonton Nyanyian Akar Rumput di Omah Sinten Heritage Hotel & Resto di Jalan Diponegoro, Ngarsopuro, Solo. Tak mau kehilangan kesempatan langka itu, sorenya saya pacu sepeda motor menempuh satu jam perjalanan dalam gerimis.

Ini pengalaman pertama saya menonton film dokumenter berbayar. Harga tiketnya Rp 20.000 untuk  40 orang pemesan pertama sebelum hari pemutaran. Di lokasi acara, harga tiketnya Rp 25.000. Layaknya konser musik, pemutaran film itu menerapkan sistem open gate. Pintu ruang sinema dibuka pukul 18.00. Penonton pun bergegas menempati saf terdepan, duduk bersila beralas karpet.

Karena filmnya baru diputar pukul 19.30, saya manfaatkan sisa waktu untuk menemui Yuda. Berkaos hitam dan celana jeans, Yuda tampak lebih muda dari yang saya lihat di layar kaca. Dia sedang sibuk merekam penonton yang berdatangan dan mengisi daftar hadir sebelum pemutaran film.

“Puas. Hampir semua penontonnya anak muda. Semoga film ini menambah referensi mereka tentang Indonesia di masa lalu,” kata Sarjana Ilmu Komunikasi lulusan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada 2006 itu.

Disinggung tentang penampilannya di malam penganugerahan Piala Citra 2018, Yuda tersenyum. “Agak grogi saat itu karena kategori film dokumenter jadi pembuka. Acara sudah dimulai, saya masih merokok di luar,” kata pendiri Rekam Docs, perkumpulan pegiat film dokumenter di Jakarta, itu.

Nyanyian Akar Rumput adalah karya keduanya yang masuk nominasi FFI untuk kategori film dokumenter panjang. Karya sebelumnya, Balada Bala Sinema, masuk nominasi FFI 2017. Meski tidak meraih Piala Citra, film itu diputar di sejumlah festival film nasional dan internasional.

Sedangkan Nyanyian Akar Rumput diputar perdana dan ikut berkompetisi di 23rd Busan International Film Festival 2018 pada 4 - 13 Oktober. Di 13th Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018, 27 November - 4 Desember, Nyanyian Akar Rumput berhasil memenangkan NETPAC Award, penghargaan untuk pembuat film dari Asia yang karyanya berkontribusi terhadap perkembangan sinema di Asia Pasifik. “Nyanyian Akar Rumput juga sudah saya daftarkan ke berbagai festival film internasional 2019,” kata Yuda.


Fajar Merah, putra bungsu Wiji Thukul, mengucapkan terima kasih kepada para penonton seusai pemutaran film Nyanyian Akar Rumput di ruang sinema Omah Sinten Heritage Hotel & Resto, Kota Solo, pada Sabtu malam, 15 Desember 2018.
Harapan Dari Jokowi

Judul Nyanyian Akar Rumput diambil Yuda dari judul buku kumpulan puisi Wiji Thukul yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama pada 2014. Yuda memilih judul itu karena mewakili garis besar cerita filmnya, yaitu tentang perjuangan Fajar dan Merah Bercerita yang menggelorakan semangat menolak lupa terhadap kasus hilangnya Wiji Thukul dengan cara melagukan puisi-puisinya.

Nyanyian Akar Rumput, yang digarap sejak awal 2014 sampai Maret 2018, dibuka dengan penampilan Merah Bercerita dalam acara penyambutan mahasiswa baru di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Solo pada 2014. "Kalian tahu Marsinah, Munir, Wiji Thukul? Mereka dibunuh! Tapi mereka masih hidup," kata Fajar sebelum menyanyikan Kebenaran Akan Terus Hidup dengan gitar akustik.

Kebenaran Akan Terus Hidup adalah salah satu puisi Wiji Thukul yang dibukukan dengan judul yang sama oleh YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia) dan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) pada 2007. Kebenaran Akan Terus Hidup merupakan lagu yang paling populer di awal karir Merah Bercerita.

Di film itu, Fitri Nganthi Wani mengatakan Fajar tidak punya kenangan tentang sosok ayahnya. Wani adalah anak sulung Wiji Thukul. Mengikuti jejak bapaknya sebagai penyair, Wani telah meluncurkan dua kumpulan puisi, Selepas Bapakku Hilang (2009) dan Kau Berhasil Jadi Peluru (2018), dan satu kumpulan cerpen Choco Jasmine (2018).

Fajar lahir pada 22 Desember 1995. Sebelum Wiji Thukul menghilang, Fajar jarang bertemu dengan bapaknya yang aktif dalam pergerakan melawan rezim Orde Baru. Menurut Wani, Fajar awalnya marah jika bakat bermusiknya dikaitkan dengan darah seniman dari Wiji Thukul. Tapi di sisi lain Fajar juga penasaran kenapa banyak orang mengelu-elukan bapaknya.

Sejak itulah Fajar mempelajari bapaknya lewat warisan buku-buku puisinya. Terpikat pada puisi-puisinya yang melantangkan suara rakyat kecil dengan gaya bahasa sederhana, Fajar yang hobi bermain gitar itu mencoba menggubahnya jadi lagu. Pada 2010, Fajar dan teman-temannya semasa sekolah di SMK Negeri 8 Surakarta membentuk band Merah Bercerita.

Pada 2015, band indie yang digawangi Fajar (vokalis, gitar), Gandhiasta Andarajati (gitar), Yanuar Arifin (bas), dan Lintang Bumi (drum) itu merilis album perdana berjudul sama dengan nama bandnya. Album berformat cakram padat itu mengemas sembilan lagu, empat di antaranya dari puisi Wiji Thukul, yaitu Apa Guna, Derita Sudah Naik Seleher, Kebenaran Akan Terus Hidup, Bunga dan Tembok.

Selain penampilan Merah Bercerita dari panggung ke panggung hingga masuk ke dapur rekaman, Nyanyian Akar Rumput juga merekam keseharian Fajar di rumahnya di Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jebres, Solo. Fajar hampir tidak pernah lepas dari gitar. Tiap menemukan irama dan melodi baru, pemuda kurus berambut gondrong yang putus sekolah sejak kelas 2 SMK itu segera merekamnya dengan ponsel.

Nyanyian Akar Rumput juga menampilkan kehidupan Siti Dyah Sujirah alias Sipon, istri Wiji Thukul, yang membuka usaha jahit pakaian di rumah. Saat film itu dibuat, Sipon sudah vakum dari berbagai aksi yang menuntut penuntasan kasus-kasus pelangaran HAM berat, terutama penghilangan paksa suaminya dan sejumlah aktivis lain.

Meski sudah tidak turun ke jalan seperti yang dilakoninya selama 11 tahun, sejak 2000 - 2011, Sipon masih menyimpan harapan agar Wiji Thukul dapat ditemukan. Harapan Sipon yang hampir redup, karena perjuangannya bersama para aktivis pegiat HAM selalu membentur tembok, kembali bersinar saat menjelang Pemilihan Presiden 2014.

“Mbak Sipon saat itu begitu besar antusiasmenya dalam mendukung Joko Widodo, calon presiden yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,” kata Yuda. Sebab, Jokowi mengusung salah satu program prioritas penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dalam kampanyenya. “Sedangkan lawan Jokowi, Prabowo Subianto, adalah mantan Komandan Jenderal Kopassus dan mantan Pangkostrad di era Orde Baru dengan latar belakang cukup complicated soal HAM,” kata Yuda.

Besarnya antusiasme Sipon menyambut Pemilihan Presiden 2014 tampak dalam adegan Sipon memamerkan kaos-kaos buatannya yang bersablon siluet wajah Jokowi dan bertuliskan daftar alasan harus memilih Jokowi. “Kaos ini dijual Rp 75.000. Kadang kami berikan gratis buat yang nggak mampu beli,” kata Sipon.

Di sela kesibukannya menjahit, Sipon tak pernah absen dari televisi 14 inchinya yang menyiarkan berita seputar Pemilu Presiden 2014. Adegan Sipon menonton televisi diselingi dokumentasi kampanye Jokowi dan Prabowo, pelantikan Jokowi sebagai presiden, hingga reaksi marah Prabowo dan pendukungnya, yang semuanya direkam Yuda di Jakarta. Yuda juga menampilkan beberapa potongan video demonstrasi mahasiswa di Jakarta pada 1998.

Tak ubahnya film fiksi, Nyanyian Akar Rumput juga mengaduk-aduk perasaan penontonnya. Beberapa penonton di samping saya bahkan sampai mengusap air mata. Namun, film itu juga sesekali memancing gelak tawa karena celotehan khas Fajar yang humoris.

Momen haru terjadi ketika film itu menampilkan rekaman penyerahan piagam penghormatan Yap Thiam Hien Award pada 17 Desember 2002. Piagam itu dipersembahkan kepada Wiji Thukul atas komitmennya dalam memperjuangkan HAM di Indonesia. Ibu Wiji Thukul, Sayem Harjo Suwito (meninggal pada 2017), bercucuran air mata saat panitia menyerahkan piagam berpigura. Setelah itu, giliran Sipon menangis hingga pingsan seusai menjawab pertanyaan jurnalis.


Dyah Sujirah alias Sipon, istri Wiji Thukul, menerima nasi tumpeng dari Yuda Kurniawan seusai pemutaran film Nyanyian Akar Rumput di ruang sinema Omah Sinten Heritage Hotel & Resto, Kota Solo, pada Sabtu malam, 15 Desember 2018. Nasi tumpeng itu sebagai wujud syukur Yuda Kurniawan karena Nyanyian Akar Rumput memenangkan Piala Citra 2018 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik.

Berawal Dari Stensilan

Ide membuat film dokumenter tentang keluarga Wiji Thukul, terutama Fajar dan Merah Bercerita, bercokol di benak Yuda sejak 2012. Gara-garanya, Yuda membaca berita di internet tentang kesibukan mereka dalam mempersiapkan album perdananya. Sejak itulah, sebagai pengagum karya Wiji Thukul sekaligus pecinta musik, Yuda merasa menemukan jalan untuk menggabungkan dua hal itu dalam satu film dokumenter.

"Waktu masih kuliah, saya sering membaca puisi Wiji Thukul dari stensilan yang dibawa om saya. Dulu saya juga punya band, tapi bubar. Sebagai gantinya saya punya cita-cita membuat film dokumenter musik," kata Yuda yang berkecimpung di dunia audio visual sebagai editor dan sutradara sejak 2003.

Yuda, yang tinggal di Jakarta, pertama menyaksikan penampilan Merah Bercerita di ASEAN Literary Festival (ALF) 2014 di Taman Ismail Marzuki pada 21 - 23 Maret 2014. Sejak itu, Yuda semakin jatuh cinta pada Merah Bercerita dan terus mengikuti perkembangan mereka di media sosial sambil menunggu momentum yang tepat untuk mengeksekusi idenya.

Momentum yang dinanti Yuda baru muncul saat dinamika politik di Indonesia menghangat jelang Pemilihan Presiden 2014. “Saat itu Merah Bercerita mulai sibuk mengurus persiapan rekaman album perdananya. Kebetulan Mbak Sipon juga sedang bersemangat mendukung Jokowi,” kata Yuda yang memulai riset dan pendekatan ke keluarga Wiji Thukul sejak awal 2014.

Sebagai teman Lexy Junior Rambadeta, Yuda tidak sulit mendapatkan akses ke keluarga Wiji Thukul. Lexy adalah pembuat film dokumenter Batas Panggung (2004) yang di dalamnya juga merekam keluarga Wiji Thukul. Dari Lexy pula Yuda memperoleh banyak file video masa kecil Fajar dan Wani dalam format mini-DV. Dari Sipon, Yuda mendapatkan beberapa koleksi foto dan video aktivitas Wiji Thukul dalam format VHS.

“Mbak Sipon langsung welcome karena saya datang sebagai teman Lexy sekaligus fansnya Fajar,” kata Yuda. Selama proses pengambilan gambar, Yuda bolak-balik Jakarta - Solo sejak 2014 - 2017. Tiap ke Solo, Yuda menginap di rumah Sipon. Sebagai basecamp Merah Bercerita, rumah sempit di permukiman padat penduduk itu selalu ramai. Yuda biasa tidur di kamar Fajar atau di ruang tamu.

“Tiap ke Solo saya bisa sampai 1 - 2 pekan. Kalau Merah Bercerita ada jadwal manggung ke luar kota saya ikut. Kalau sudah kehabisan ide di Solo, saya ke Purbalingga mengerjakan Balada Bala Sinema. Jadi dalam tiga tahun itu rute hidup saya hanya Jakarta - Solo - Purbalingga,” kata Yuda. Selama tiga tahun mengambil gambar, Yuda mengumpulkan file video hingga dua terabyte. “Durasi totalnya ratusan jam. Editing-nya setahun saya kerjakan sendiri,” kata Yuda.

Meski Nyanyian Akar Rumput memberikan porsi lebih banyak untuk Fajar dan Merah Bercerita, Yuda juga mengorek informasi hal ihwal Wiji Thukul dari Sipon. Bagi Yuda, mewawancarai Sipon adalah bagian terberat dalam proses pembuatan filmnya. Sebab, hilangnya Wiji Thukul masih meninggalkan trauma mendalam bagi Sipon.

“Sebagai pembuat film saya harus mengabarkan itu. Kalau kondisinya sedang tidak baik, Mbak Sipon menjawab panjang lebar, saya musti pelan-pelan mengingatkan agar kembali ke inti pertanyaan. Kalau mood Mbak Sipon sedang nggak banget, saya berhenti. Orang Jawa bilang kudu ngerti wayahe (musti tahu waktu yang tepat),” kata Yuda yang tumbuh dan besar di Banyuwangi, Jawa Timur.


Fajar Merah saat tampil di kafe Lokal Jajan Klaten pada 30 Agustus 2018
Bukan kampanye

Menurut Wani, Nyanyian Akar Rumput bukanlah film yang berupaya menggiring opini penonton untuk menentukan pilihan menjelang Pemilihan Presiden 2019 yang mengulang kembali pertarungan antara Jokowi dan Prabowo. Meski banyak menampilkan potongan dokumentasi kampanye Jokowi pada 2014 dan pernyataan dukungan Sipon, Wani mengatakan, semua itu hanya realitas pada masa filmnya dibuat, bukan cerminan realitas sekarang.

“Harusnya beliau (Jokowi) yang ditanya, bukan kami selaku keluarga Wiji Thukul,” kata Wani menjawab pertanyaan seorang penonton dalam sesi diskusi seusai pemutaran Nyanyian Akar Rumput. Penonton itu menanyakan apakah keluarga Wiji Thukul masih menaruh harapan pada Jokowi dalam hal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang ternyata masih jalan di tempat selama empat tahun pemerintahannya.

Selama 20 tahun ayahnya menghilang, Wani berujar, banyak pelajaran yang dia dapatkan. Salah satu pelajaran itu dia torehkan pada tato di jari tengah tangannya: hope is destroyer. “Ini nyata, karena harapan keluarga kami selalu dipermainkan. Buat saya pribadi fuck off lah sama besok (Pemilihan Presiden) 2019,” kata Wani.

Bagi Sipon, lamanya proses pembuatan film Nyanyian Akar Rumput sama melelahkannya dengan perjalanan panjang yang dia tempuh selama mencari keadilan untuk Wiji Thukul. “Saya pernah bilang ke Mas Yuda, ini sampai kapan kok ra rampung-rampung (nggak selesai-selesai),” kata Sipon sambil menggendong Safa, cucu pertamanya dari Wani.

Menyaksikan Nyanyian Akar Rumput juga menguras banyak kenangan pahit Sipon, di antaranya ketika hendak menikahkan Wani. Pesta pernikahan Wani dihadiri Jokowi semasa masih menjabat Wali Kota Solo. “Saat itu petugasnya tanya di mana bapaknya. Saya jawab bapaknya hilang. Ditanya lagi, kok bisa hilang memangnya ditaruh di mana. Saat itu sakit sekali hati saya,” kata Sipon.

Meski janji pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat belum terwujud, Sipon mengaku tidak pernah lelah berharap akan datangnya keadilan serta kepastian keberadaan Wiji Thukul, hidup atau mati. “Pada 2011, negara (Komnas HAM) sudah menyatakan Wiji Thukul dihilangkan secara paksa. Artinya negara sudah mengakui. Tapi ini belum selesai,” kata Sipon.

Fajar mengucapkan terima kasih pada Yuda karena Nyanyian Akar Rumput, yang membuatnya penasaran selama empat tahun, berhasil membuatnya terharu dan rindu pada masa perjuangan Merah Bercerita. “Walaupun banyak jeda kami tidak berhenti berproses. Semoga tahun depan kami bisa merilis album kedua,” kata Fajar.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vinisa Nurul Aisyah, mengatakan Nyanyian Akar Rumput muncul pada momentum yang tepat untuk mengingatkan publik bahwa pemerintah masih punya utang dalam hal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. “Karena ada kemungkinan kasus-kasus pelanggaran HAM tidak lagi menjadi isu utama di kampanye Pemilihan Presiden 2019,” kata Vinisa yang malam itu turut berjubel bersama sekitar 90 penonton yang didominasi mahasiswa.

Yuda menambahkan, ada dua baris dalam lagu puisi Kebenaran Akan Hidup yang mengena di hatinya sehingga dia selalu enjoy selama pembuatan film Nyanyian Akar Rumput: Aku akan tetap ada dan berlipat ganda /Siapkan barisan dan siap untuk melawan.

Menurut Yuda, ramalan Wiji Thukul dalam dua baris puisi itu sudah terwujud. Selain lewat Fajar dengan Merah Bercerita dan Wani dengan puisi-puisinya, Wiji Thukul masih terus hidup dalam diskusi-diskusi, karya-karya jurnalistik, karya ilmiah, buku-buku, hingga dalam film fiksi dan dokumenter.

Larisnya Istirahatlah Kata-Kata yang diputar di bioskop pada 2017 juga menjadi bukti bahwa Wiji Thukul masih hidup di benak sebagian masyarakat. Istirahatlah Kata-Kata adalah film karya Yosep Anggi Noen yang berdasarkan kisah nyata pelarian Wiji Thukul dari kejaran aparat pada masa Orde Baru.

“Sebagai film yang tidak mainstream, film itu terbilang sukses dengan jumlah penonton mencapai 50.000 orang,” kata Yuda. Demi menyebarluaskan pesan menolak lupa pada kasus penghilangan Wiji Thukul dan sejumlah aktivis 1998, Yuda pun ingin Nyanyian Akar Rumput bisa diputar di bioskop.

“Film dokumenter memang belum populer, tapi nggak ada salahnya dicoba. Memenangkan Piala Citra 2018 jadi awal yang baik, film ini jadi dikenal secara luas,” kata Yuda yang berencana menyumbangkan hadiah dari kemenangannya di FFI 2018 kepada Merah Bercerita untuk proses produksi album kedua mereka.

Selain menyiapkan jadwal pemutaran di sejumlah daerah pada 2019, Yuda mengaku sedang mencari cara agar Nyanyian Akar Rumput bisa ditonton kalangan pemerintah. “Banyak teman Wiji Thukul yang jadi pejabat seperti Budiman Sudjatmiko, anggota DPR dari PDIP. Tentu dia punya akses ke Istana. Pemutaran film ini di Istana Presiden sangat mungkin. Banyak jalan agar film ini ditonton Pak Jokowi,” kata Yuda.




Tagged
Different Themes
Written by Templateify

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar

Recent