google-site-verification: google81f2ee356101f507.html White Stone, Hari Ghulur, dan "Kerasnya" Madura - Buruh Nulis
Open top menu
Selasa, 07 Mei 2019


Dengan teknik Gaga, Hari Ghulur menciptakan tari White Stone. Memadukan ekspresi emosional pesilat dan penari, mendekonstruksi stigma “kerasnya” orang Madura.

Suara bising mirip deru mesin pemotong batu memecah keheningan Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kota Surakarta, yang gelap gulita pada Ahad malam, 28 April 2019. Setelah beberapa menit mengusik telinga sekitar 60 penonton, suara tak berirama itu berhenti, bersamaan dengan nyala lampu yang mengguyurkan cahaya kuning pucat ke tubuh enam penari yang berdiri tegap mematung.

Dalam senyap, dua penari lelaki dan empat penari perempuan berkostum serba hitam itu kemudian berjalan pelan ke tengah arena membentuk formasi saling bertumpuk dalam posisi tengkurap. Setelah penari di posisi paling bawah berupaya membebaskan diri, formasi itu pun terberai, mereka jatuh berguling.

Sejak itu kegaduhan kembali tercipta. Namun, bukan karena musik pengiring seperti pada pembukanya. Melainkan oleh dengus napas dan hentakan kaki para penarinya yang bergerak acak, saling memeragakan bermacam jurus silat yang telah terdistorsi oleh metode impresif dan emosional ajaran sang koreografernya, Hari Ghulur.

Tidak hanya gaya menyerang dan bertahan, enam penari muda itu juga menampilkan berbagai gerak bebas sekuat tenaga yang sekilas tampak spontan dan diulang-ulang dalam tempo yang cepat. Uniknya, selama sekitar 40 menit pertunjukan berlangsung, karya yang menguras keringat itu sama sekali tanpa musik pengiring kecuali suara bising mirip mesin pemotong batu pada pembuka dan penutupnya. Tata lampunya juga sederhana, seolah hanya untuk menerangi panggung saja.

“Karena tanpa musik dan teknik pencahayaan panggungnya sederhana, perhatian penonton jadi terfokus pada interaksi, suasana, konflik, alur, dan rangkaian gerak individu penarinya. Ketubuhan dan skill penarinya bagus dan presisi, itu yang menarik,” kata Melati Suryodarmo mengomentari White Stone, pertunjukan laboratorium tari karya Hari Ghulur, seniman tari asal Madura yang berdomisili di Surabaya dan mendirikan Sawung Dance Studio sejak 2012.

White Stone menjadi karya penanda dimulainya On Stage edisi perdana, program dua bulanan yang digagas Melati dan Platform Studio Plesungan yang bermarkas di Desa Plesungan, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. On Stage bertujuan merajut jaringan koreografer independen dan seniman pertunjukan lain. “Sudah menjadi kebutuhan kita untuk bertemu, bertukar pikiran, pengalaman, wacana, dan saling kritik demi memperbaiki proses kerja,” kata Melati, direktur Studio Plesungan yang seniman performance art yang karya-karyanya banyak dipentaskan di berbagai negara.


*

Pada Juli 2018, Hari yang berprofesi sebagai dosen di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dan di program studi tari Universitas Negeri Malang itu mengikuti International Choreography Residency (ICR) American Dance Festival di Durham, North Carolina, Amerika Serikat.

Selama dua bulan residensi atau mondok di ICR, alumnus jurusan Sendratasik Universitas Negeri Surabaya itu mendapatkan banyak ilmu seputar metode penciptaan karya sekaligus proses kreatifnya. Sejak itu, lulusan program magister Penciptaan Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu tertantang untuk mengaplikasikan metode-metode tersebut dengan membuat karya yang menggandeng penari.

“Saya ingin menjajaki hal baru, bagaimana mentransfer ide, gagasan, dan pengalaman saya kepada penari. Sepulang dari Amerika, Agustus 2018, saya mulai menggarap White Stone,” kata seniman yang terbiasa membuat koreografi dan menarikannya sendiri itu. Salah satu karya solonya yang cukup dikenal adalah Tari Ghulur. 

Tari Ghulur adalah karya yang terinspirasi dari kesenian Topeng Ghulur di Desa Larangan Barma, Sumenep, Madura. Dalam tradisi Madura, Ghulur bisa dimaknai "bergulung-gulung", sebuah dialog antara tubuh dan tanah demi kesuburan. Tari Ghulur pernah dipentaskan di Indonesian Dance Festival 2014, Choreo Lab Dewan Kesenian Jakarta 2015, M1Contact Southeast Asian Choreographer Singapore 2016, Festival Europalia 2017 di Belgia dan Festival Salihara di Jakarta pada 2017.

Berbekal pengalaman dan wacana seputar perkembangan dunia tari dari ICR, Hari pun bereksperimen menggali ekspresi-ekspresi tubuh baru dari gerakan pencak silat Pamor asli Pamekasan, Madura. “Karena saya lahir dan besar di Madura. Dengan banyaknya pengalaman selama berproses kreatif di Madura, otomatis tubuh saya merespon berbagai isu dari luar dengan spirit-spirit dari Madura,” kata Hari yang sejak kecil telah mempelajari belasan jurus pencak silat Pamor.


Awalnya, Hari sempat kesulitan mewujudkan gagasannya membuat karya menggunakan ekspresi-ekspresi tubuh yang baru berbasis gerakan silat Pamor. Sebab, tubuh keenam penarinya sudah “tercetak” dengan tradisi masing-masing. Meski sama-sama berstatus mahasiswa jurusan seni tari, enam penari itu memiliki latar belakang berbeda-beda, mulai dari cheerleaderbreakdancer, dan ada satu atlet pencak silat unggulan Jawa Timur asli Madura, yaitu M. Rusdi, 24 tahun.

“Mereka sudah terbiasa menggunakan gerak tubuhnya untuk menari, bukan untuk berekspresi. Maka itu saya hancurkan dulu tradisi tubuh mereka, dinetralkan dulu dengan teknik Gaga,” kata Hari. Gaga adalah salah satu teknik baru untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran diri seseorang melalui tubuh. Dengan latihan teknik Gaga secara rutin dan intens, penari dapat mengubah kebiasaan geraknya dan menjelajah gerakan baru yang multi-dimensi, melampaui batas yang biasa dia kenal.

Setelah berlatih teknik Gaga selama beberapa bulan, para penari itu baru dikenalkan pada beberapa jurus pencak silat Pamor. Namun, Hari mengatakan, jurus silat itu hanya sebagai media untuk menciptakan ekspresi-ekspresi gerakan baru yang lahir dari sisi emosional dan impresif tiap penari.

“Jadi ada penari yang belajar silat dan ada pesilat yang belajar menari. Transisi-transisi gerakan tubuh dari penari dan pesilat itulah yang dieksplorasi dan ditampilkan dalam White Stone,” kata Hari. Meski sebagian jurus silat itu masih tampak kental, Hari berujar, gerakannya sudah terdistorsi oleh kekayaan gerak para penarinya ditambah arahan dari dirinya selaku koreografer.

Ihwal pemilihan judul White Stone yang diartikan sebagai batu kapur, Hari berujar, inspirasinya berawal dari kondisi geografis Pulau Madura yang gersang dan tandus karena terdiri dari perbukitan kapur. Bagi Hari, batu kapur juga sebagai simbol dari stigma yang terlanjur melekat pada orang Madura yaitu berperangai keras.

“Padahal karakter keras tidaknya seseorang tidak bisa ditentukan hanya dari mana dia berasal,” ujar Hari. Sebagai salah satu orang Madura yang merantau, Hari memaknai sifat keras itu dari sisi positif. “Kerasnya orang Madura itu dalam etos kerja, dalam meraih prestasi. Seperti batu kapur, keras tapi mudah dibentuk, ditata menjadi dinding-dinding rumah di Madura,” kata Hari.


Meski berangkat dari nilai filosofis batu kapur dan kehidupan orang Madura, Hari tidak berniat menjadikan White Stone sebagai karya yang mengusung hal ihwal Madura. Maka itu, dia sengaja tidak membuat narasi atau menyusun koreografinya berdasarkan bangunan cerita. “Biar narasi itu tercipta dengan sendirinya lewat eksplorasi gerak tubuh para penari. White Stone tidak lagi bicara soal bentuk, tapi lebih pada penekanan emosional dan impresifnya,” kata Hari.

Selain memuji rangkaian gerak individu penarinya dalam membangun interaksi, suasana, dan konflik dalam pertunjukan karya White Stone, Melati Suryodarmo juga menyisipkan satu kritik yang membangun. “Setelah tampil di On Stage dan mendapat banyak masukan dari jejaring koreografer independen, semoga bisa menjadi bahan refleksi bagi Hari Ghulur untuk membenahi dramaturginya,” kata Melati.

Menurut Melati, membangun sebuah koreografi tidak hanya bertumpu dari rangkaian gerak. “Perlu strategi agar pemikiran sang koreografer dan penggunaan gerak tubuh dalam karya tarinya bisa klop. Dramaturgi itu tidak sesederhana membangun suasana saja, tapi juga bagaimana esensi dari karya itu bisa tersampaikan. Musti ada alasan dibalik rangkaian geraknya, pilihan musiknya, lighting, dan lain-lain,” kata Melati.

DINDA LEO LISTY


Nb: Artikel versi pendek dimuat di Majalah Tempo edisi 6 - 12 Mei 20019. 


Tagged
Different Themes
Written by Templateify

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar

Recent