Tonny Trimarsanto dan Piala Citra 2017 |
KLATEN
- Berpengalaman sebagai periset materi visual dan penata artistik untuk
sejumlah film layar lebar besutan sutradara Garin Nugroho sejak 1992 - 2000
membuat Tonny Trimarsanto tertantang untuk mencoba pengalaman lain meski masih
dalam satu jalur, yakni di dunia film dokumenter.
"Awalnya
cuma coba-coba karena penasaran, kenapa film dokumenter di Indonesia tidak
sepopuler film-film fiksi atau animasi," kata Tonny saat ditemui Tempo di
rumahnya di Perumahan Griya Prima Barat, Kelurahan Belang Wetan, Kecamatan
Klaten Utara, Kabupaten Klaten, pada Kamis, 6 Desember 2018.
Selain
sebagai sutradara film dokumenter yang kerap meraih penghargaan di festival
film internasional, Tonny, 48 tahun, juga dikenal sebagai pendiri Rumah
Dokumenter. Didirikan sejak 2002, Rumah Dokumenter adalah sebuah lembaga yang
bergerak dalam produksi film dokumenter, mendorong pertumbuhan jejaring dan
apresiasi film dokumenter, serta pendidikan untuk film dokumenter.
Namun,
jangan membayangkan Rumah Dokumenter layaknya production house atau
lembaga resmi pada umumnya di mana anda akan disambut ruangan-ruangan yang
berpendingin udara. "Kantornya Rumah Dokumenter itu di dunia maya. Kalau
bangunan fisiknya ya di rumah ini," kata Tonny menunjukkan rumahnya
yang nyentrik, memadukan arsitektur Jawa berupa pendopo cukup luas
untuk ruang tamu dan gaya modern minimalis pada ruang tengah dan
belakangnya.
Tonny
mengatakan, rumah yang dia tinggali bersama istri dan tiga anaknya itu semacam
tempat singgah bagi siapa saja yang ingin sekadar mengenal hingga benar-benar
menyelami dunia film dokumenter. "Di rumah ini siapapun boleh mampir, mau
sekadar transit atau menginap, dan belajar bersama membuat film dokumenter.
Semuanya gratis, tapi fasilitas seadanya," kata Tonny.
Meski
sering kedatangan rombongan pelajar dan mahasiswa dalam program magang atau
praktik kerja lapangan (PKL), Rumah Dokumenter belum memiliki sistem kelas
reguler. "Dulu pernah buka kelas ide, kelas kreatif, teknik kamera, editing,
dan lain-lain. Tapi masih belum nemu format yang tepat karena masih penjajakan,
mengingat film dokumenter belum populer. Tapi ada arah ke sana," kata
Tonny.
Hingga
kini Rumah Dokumenter masih setia bertahan pada perannya sebagai teman berbagi
untuk para calon sineas muda dalam menumbuhkan ide menjadi cerita yang menarik lantas
mengemasnya dalam karya film dokumenter. "Jadi semacam sharing
partner. Magang di sini harus jadi karya, bukan cuma latihan kerja. Kalau soal
teknis kan bisa dipelajari siapapun dengan mudah di internet," kata Tonny.
Setelah
selesai membuat karya film dokumenter, para pelajar atau mahasiswa itu
diwajibkan mengadakan screening film
di Rumah Dokumenter. "Mereka saya minta mengundang teman
sebanyak-banyaknya. Setelah itu silakan dipresentasikan lalu didiskusikan. Biar
pada berani bicara mengutarakan pendapat atau gagasan. Saya hanya menonton
saja," kata Tonny.
Beberapa
bulan lalu, ada satu mahasiswi dari Institut Seni Indonesia Denpasar Bali yang
mondok di Rumah Dokumenter selama dua bulan untuk membuat karya tentang
pengalamannya mengunjungi dan beribadah di sejumlah pura di Klaten. "Karyanya
menarik. Dia menemukan banyak perbedaan dalam peribadatan di pura di Klaten dan
di Bali. Film itu untuk tugas PKL,” kata Tonny.
Dengan
menempatkan Rumah Dokumenter sebagai teman berbagi, Tonny tidak pernah
menganjurkan para binaannya membuat karya dengan mengikuti patokan standar
kualitas produksi Rumah Dokumenter. Namun, Tonny selalu berpesan kepada
binaannya untuk membuat karya yang berbeda, mengangkat tema yang jarang
disentuh, tapi tetap mengandung muatan universal.
“Saya
tidak mengarahkan, misalnya, harus begini alur ceritanya atau bagaimana cara
mengambil gambarnya. Karena itu karya mereka. Banyak yang ke sini hanya demi
memenuhi tugas studi. Tapi ada juga yang punya talenta di film dokumenter dan
masih sering konsultasi ke sini,” kata Tonny.
Demi
menjaga kesinambungan Rumah Dokumenter di sela kesibukannya sebagai pembuat
film, juri, kurator, pemateri, dan lain-lain, Tonny membuat grup WhatsApp bagi
para binannya sebagai ajang berbagi. “Di grup WhatsApp itu saya sering sharing agenda-agenda seputar film
dokumenter hingga informasi tentang festival di luar negeri. Kalau tertarik ya
silakan ikut,” kata Tonny.
*
Rumah
Dokumenter awalnya adalah sebuah komunitas pelaku film dokumenter yang
digawangi Tonny, Heru Mataya, Dani Cupluk, beserta sejumlah praktisi dan
akademisi dari Solo Raya dan DIY. Mereka mengusung misi mempopulerkan genre
film dokumenter khususnya di Solo Raya.
Sejak
didirikan pada 2002, Rumah Dokumenter memiliki kegiatan screening film dokumenter reguler dengan lokasi berpindah-pindah di
lingkup Kota Solo. Tiap bulan, para anggota Rumah Dokumenter mengumpulkan karya
film dokumenter untuk dikurasi sesuai tema tertentu yang berbeda-beda.
Selain
rutin memutar film-film dokumenter, Rumah Dokumenter juga sering menggelar
diskusi dengan menghadirkan para pembuat film sebagai pembicara. “Dulu dananya bantingan (patungan) karena tanpa
sponsor,” kata Tonny.
Seiring
berjalannya waktu, kegiatan screening film reguler itu berangsur mengendur
karena para pegiat Rumah Dokumenter mulai sibuk dengan prioritas masing-masing.
Namun, hingga kini Tonny masih setia mempertahankan tradisi screening film di
rumahnya meski intensitasnya tidak sepadat saat tahun-tahun awal berdirinya
Rumah Dokumenter.
“Sampai
sekarang film dokumenter masih kurang populer. Banyak yang beranggapan
perjalanan film dokumenter hanya sampai pada festival. Pasar film dokumenter
masih kecil dan di luar (negeri). Tapi kalau bisa konsisten ya lumayan
hasilnya. Di sinilah tantangannya,” kata Tonny.
Namun,
Tonny optimistis masa depan film dokumenter di Indonesia akan semakin bersinar
pada kurun lima sampai sepuluh tahun mendatang. “Sekarang pemerintah tidak
hanya mendukung film fiksi saja, dokumenter juga. Sekarang juga semakin banyak
jurusan broadcast, jadi dari awal
sudah tahu apa itu film dokumenter,” kata Tonny.
0 komentar