![]() |
| Mustangidi |
SOLO – Meski pendengarannya sudah berkurang karena faktor usia,
Mustangidi memiliki daya ingat yang cukup kuat ketika Tempo berupaya
menggali kenangannya seputar masa kejayaan batik Kauman. Mustangidi,
88 tahun, adalah salah satu saudagar batik legendaris di
Kampung Kauman. Batik tulis Mustangidi kini menjadi buruan para
kolektor.
“Wah, opo ngerti aku yo. Pengalamanku wis abad entek kok (Apa
ngerti saya. Pengalaman saya hanya sampai akhir abad ke-20),” kata perempuan
sepuh yang masih tampak sehat itu saat Tempo bertandang ke
rumahnya yang terletak di tengah kawasan kampung wisata batik Kauman Solo
pada Kamis petang, 20 September 2018.
Layaknya rumah-rumah kuno milik para saudagar batik di Kauman,
rumah Mustangidi tidak terlihat dari luar karena dikelilingi tembok tebal
setinggi tiga meter dengan dua daun pintu gerbang dari kayu yang senantiasa
tertutup rapat. Di balik “benteng” itulah Mustangidi tinggal di rumah kuno
berarsitektur Jawa nan luas dan megah yang ruang depannya dipercantik oleh
jendela-jendela kaca tinggi. Di rumah itu pula tinggal salah seorang putranya,
Taufiq, yang juga mengelola usaha batik.
Mustangidi lahir dari keluarga Mbah Bilal, saudagar batik di Kauman yang
tersohor sejak awal abad 20. Keluarga dari ayah Mustangidi dikenal sebagai
salah satu pendiri Yayasan Perguruan Al Islam Surakarta (1928). Sedangkan
keluarga dari ibu Mustangidi dikenal sebagai pendiri Nahdlotul Muslimat / NDM
(1931), gerakan wanita muslim yang tidak tergabung dalam Aisiyah, organisasi di
Muhammadiyah. Suami Mustangidi juga lahir dari keluarga saudagar batik yang
ternama di Kauman, yaitu Mbah Bakri.
Meski sejak kecil sudah akrab dengan usaha batik yang
digeluti neneknya hingga menurun ke ibunya, Mustangidi mengaku tidak mahir
membatik. “Aku nggak telaten mbatik. Kalau gambar (motif) kan sudah
ada orang pintar nggambar, tinggal disuruh nggambar. Jadi aku nggak
belajar mbatik, cuma komando saja dan memberi ongkos,” kata
Mustangidi sambil tertawa.
Mustangidi mengatakan, pekerjaannya sebagai saudagar batik bermula
dari kebiasaan membantu sang ibu. Tiap pulang sekolah, Mustangidi bertugas
membayar buruh-buruh batik dari desa yang berdatangan ke rumahnya.
“Sekolahku pagi dan sore. Pagi sekolah agama di NDM (Jalan Trisula, Kauman),
sorenya sekolah umum di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di dekat
Mangkunegaran. Pulang sekolah sampai Maghrib tugasku mbelanjani wong
mbatik (membayar buruh batik),” kata ibu dari sepuluh anak itu.
Ibu Mustangidi, Bu Bilal, awalnya hanya pedagang batik kecil
yang membuka toko di sebuah rumah kontrakan di Kauman. “Ini dongengnya
ibuku ya. Di rumah kontrakan itu, dari loteng di atasnya sering menetes lilin
yang mencair saat direbus. Ibuku pintar, o, ternyata ada orang mbatik di
atas. Terus ibu dapat wong mbatiknya (yakni si perajin batik tulis
yang tinggal di loteng atas kiosnya). Sejak itu ibuku mulai mbatik (menjadi
juragan batik tulis). Tadinya ibu cuma batik cap,” ujar
Mustangidi.
Menurut Mustangidi, para juragan batik tulis pada
zaman dulu biasa mencari wong mbatik (buruh batik) di
desa-desa. Ciri khas seni serta keahlian buruh batik itu berbeda-beda
di tiap desa. “Yang nggambar (motif) ada sendiri, yang menurut gambarnya pakai
malam ada sendiri, yang ngisi dalamnya gambar ada sendiri. Jadi (tergantung)
kepintarannya di mana. Kalau ada priyayi dari keraton (yang tinggal di desa)
atau dekat tempat istirahat (makam) raja, pasti banyak orang mbatik,”
kata dia.
Selain mendatangi ke desa-desa yang dikenal sebagai kantong
buruh batik, Mustangidi mengatakan, juragan batik di Kauman dulu
juga sering kedatangan para perajin batik yang menempuh perjalanan
jauh dari desa dengan berjalan kaki demi menawarkan hasil karyanya.
“Kalau inget zaman dulu rasanya juga kasihan. Yang mbatik itu rumahnya
Bekonang (Kabupaten Sukoharjo), ke Kauman cuma bawa dua potong. Ada
juga yang dari Tawangmangu (lereng Gunung Lawu wilayah Kabupaten Karanganyar),
jalan kaki cuma bawa dua potong,” kata Mustangidi.
Selain mendatangi desa-desa seperti nenek dan ibunya, Mustangidi
juga terbiasa mencari buruh batik di tempat pemberhentian bus di
kota. “Di ngebisan (halte atau terminal) dulu biasanya ada
yang bawa gendongan (berisi kain batik). Terus saya ajak, coba ke rumah
saya. Sejak itu saya punya wong mbatik di rumah. Yang mbatik di
rumah kalau 15 orang ya ada,” kata Mustangidi.
Mustangidi menambahkan, buruh batik dari desa yang
berdatangan ke kota untuk mencari juragan itu pada umumnya menderita penyakit
beri-beri. “Kakinya pada bengkak. Dulu mereka nggak ada harganya. Kalau
mengumpulkan orang mbatik itu cuma dikasih beras satu gelas
per hari. Terus upahnya nggak bisa buat beli-beli. Saat itu kan zaman
penjajahan. Kalau sudah mulai kerja mereka seperti diasuh (dirawat di rumah si
saudagar). Jadi niatnya menolong mereka juga. Kalau nyari orang mbatik,
mau butuh berapa pasti ada, tapi rumahnya juga musti ada (musti disediakan
tempat tinggal),” kata Mustangidi.
Saat batik tradisional sedang berada di puncak
kejayaannya, Mustangidi biasa menjual batiknya ke Bandung, Surabaya,
dan sejumlah kota kecil di Jawa Tengah. “Tiap daerah punya gairah
sendiri-sendiri. Ada yang senang batik ini. Ada daerah yang nggak
senang batik itu karena anti,” kata Mustangidi.
Meski upah buruh batik pada masa itu sangat murah,
harga batik di pasaran terbilang mahal. “Kalau sudah laku, laku
sekali. Nggak tahu apa sebabnya. Dan labanya juga banyak. Yang kasihan
yang mbatik. Ongkos orang mbatik dulu murah, yang enak juragannya,”
kata Mustangidi.
Memasuki masa suram batik tradisional karena kalah bersaing
dengan batik printing pada awal 1980-an, Mustangidi tetap bertahan
memproduksi batik. “Ya cuma jualan di kota saja, cuma di Pasar Klewer.
Kalau kirim-kirim (ke luar kota) sudah nggak,” kata Mustangidi.
*
Menurut salah satu putri Mustangidi yang juga menggeluti
bisnis batik di Kauman, Qurrotun Ayun, masa suram batik tradisional
karena kalah bersaing dengan batik printing itu bermula pada 1981 –
1982. “Waktu itu saya masih kuliah. Dulu tiap rumah di Kauman rata-rata
cuma punya satu dapur (tempat untuk produksi batik). Ibu saya dulu sampai
punya tiga dapur. Tapi pada 1985 sudah tidak berproduksi lagi, tinggal
menjual batikyang masih tersisa saja,” kata Ayun, 55 tahun, saat
ditemui Tempo di rumahnya pada Jumat, 21 September.
Sama seperti masa kecil ibunya, Ayun sudah diberi tanggung jawab
untuk membayar para buruh batik sejak masih kelas 6 SD. “Waktu itu
saya didampingi eyang (Mbah Bilal, orangtua Bu Mustangidi). Jadi hidup saya
tiap hari sama wong mbatik, makan bareng, mbatik bareng di
rumah saya,” kata Ayun yang sejak 1998 mendirikan Griya Batik Sekar
Tanjung di Jalan Cakra, Kauman.
Di usia yang terbilang masih dini, keahlian Ayun sebagai calon
juragan batik semakin terasah ketika kedua orangtuanya menunaikan
ibadah haji pada 1970-an. “Saya anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Bagaimana
jangan sampai berhenti (bisnis batik orangtuanya). Saat itu saya
dibekali catatan. Jadi kalau ada wong mbatik datang ke rumah,
saya yang mblanjani (memberikan upah),” kata Ayun.
Selain batik tulis yang halus, Ayun berujar, ibunya
juga memproduksi batik cap. “Batik tulis zaman dulu halus
sekali, nggak seperti sekarang. Kebanyakan batiknya ibuk bermotif
tribusono. Ya batik alas-alasan (dasaran), sama dengan batik pakem
dari keraton. Jadi motifnya masih full dan monoton. Batik modern
ibu saya belum pernah pegang,” ujar Ayun.
Disinggung ihwal larangan memproduksi batik pakem
untuk khalayak umum di luar keraton, Ayun mengatakan hal itu hanya berlaku pada
masa awal keraton berdiri. “Sesudah itu tidak dilarang lagi. Sejak zaman nenek
juga sudah memproduksi batik pakem. Motif pakem boleh dipakai
masyarakat umum di luar keraton. Tapi kalau di dalam keraton, batik kan
sebagai uniform, jadi motif pakem ada fungsinya sendiri-sendiri,”
kata Ayun.
Di samping memproduksi batik motif tribusono, Ayun
menambahkan, usaha batik ibunya juga memproduksi bermacam motif yang
disesuaikan dengan minat pasar di berbagai daerah yag menjadi pelanggannya.
“Ibuk dulu setornya ke mana-mana, mulai dari Kudus, Bandung, Jakarta, Surabaya,
dan lain-lain. Tiap daerah punya nilai seni yang berbeda,” kata Ayun.
Jika nenek dan ibunya menjalankan usaha batik dengan
cara mendatangi desa-desa yang dikenal sebagai kantong perajin batik, Ayun
memilih menunggu di rumah. “Allah yang menunjukkan jalan. Di rumah ada yang
ketok-ketok pintu, menawarkan batik dari desa, ya saya terima. Jadi
saya nggak pernah mencari pembatik. Kebetulan ada yang masuk ke Kauman,
lewat depan rumah. Kebetulan pas buka pintu ada yang menawarkan batik. Ya
sudah itu berlanjut sampai sekarang,” kata Ayun.
Harga batik Ayun cukup bervarisi. Untuk batik dengan
motif jarang-jarang, biasa untuk bahan baju, harganya berkisar Rp 300.000.
Sedangkan kain batik panjang untuk jarik, berukuran 2,5 x 1,1 meter,
harganya berkisar Rp 2 juta. “Tergantung proses dan pewarnaannya,” kata Ayun.
Meski usaha batik tradisional di Kauman kembali
menggeliat setelah mati suri cukup lama, Ayun mengaku bisnis batik saat
ini tidak semudah pada masa muda ibunya. “Dulu batik sedang
jaya-jayanya, batik baru jadi langsung laku dijual. Sekarang musti
cari pembeli dulu, kira-kira harganya sampai atau nggak. Kalau pelanggan batik ibu
tentu sudah tidak ada. Jadi saya cari jalan baru, yang beli bukan orang-orang
dulu. Saya jualnya ke teman-teman, kenalan, dan menawarkan di facebook,”
kata Ayun.
Sementara usaha batik keluarga Mustangidi masih
berlanjut, tidak demikian dengan batik Puspaningrat. Puspaningrat
adalah merek batik dari Wignyo Dinomo, mantan saudagar batik asal
Kelurahan Kemlayan, Kecamatan Serengan, Kota Solo. Kemlayan tepatnya berada di
sebelah barat Kauman.
“Bapak dan Ibu Wignyo Dinomo sudah meninggal sebelum 1998.
Puspaningrat itu nama batiknya. Semua putranya di Jakarta, tidak ada yang
melanjutkan usaha batik. Sedangkan rumah ini sekarang untuk homestay.
Saya bekerja di sini sejak 2006,” kata Joko, pengelola homestay Paradise di
Gang Empu Panuluh, Kemlayan, saat ditemui pada Sabtu, 22
September.
.png)
By
02.36


0 komentar