google-site-verification: google81f2ee356101f507.html Mustangidi, Saudagar Legendaris Batik Kauman - Buruh Nulis
Open top menu
Kamis, 10 Januari 2019

Mustangidi

SOLO – Meski pendengarannya sudah berkurang karena faktor usia, Mustangidi memiliki daya ingat yang cukup kuat ketika Tempo berupaya menggali kenangannya seputar masa kejayaan batik Kauman. Mustangidi, 88 tahun, adalah salah satu saudagar batik legendaris di Kampung Kauman. Batik tulis Mustangidi kini menjadi buruan para kolektor.

Wah, opo ngerti aku yo. Pengalamanku wis abad entek kok (Apa ngerti saya. Pengalaman saya hanya sampai akhir abad ke-20),” kata perempuan sepuh yang masih tampak sehat itu saat Tempo bertandang ke rumahnya yang terletak di tengah kawasan kampung wisata batik Kauman Solo pada Kamis petang, 20 September 2018.

Layaknya rumah-rumah kuno milik para saudagar batik di Kauman, rumah Mustangidi tidak terlihat dari luar karena dikelilingi tembok tebal setinggi tiga meter dengan dua daun pintu gerbang dari kayu yang senantiasa tertutup rapat. Di balik “benteng” itulah Mustangidi tinggal di rumah kuno berarsitektur Jawa nan luas dan megah yang ruang depannya dipercantik oleh jendela-jendela kaca tinggi. Di rumah itu pula tinggal salah seorang putranya, Taufiq, yang  juga mengelola usaha batik.

Mustangidi lahir dari keluarga Mbah Bilal, saudagar batik di Kauman yang tersohor sejak awal abad 20. Keluarga dari ayah Mustangidi dikenal sebagai salah satu pendiri Yayasan Perguruan Al Islam Surakarta (1928). Sedangkan keluarga dari ibu Mustangidi dikenal sebagai pendiri Nahdlotul Muslimat / NDM (1931), gerakan wanita muslim yang tidak tergabung dalam Aisiyah, organisasi di Muhammadiyah. Suami Mustangidi juga lahir dari keluarga saudagar batik yang ternama di Kauman, yaitu Mbah Bakri.

Meski sejak kecil sudah akrab dengan usaha batik yang digeluti neneknya hingga menurun ke ibunya, Mustangidi mengaku tidak mahir membatik. “Aku nggak telaten mbatik. Kalau gambar (motif) kan sudah ada orang pintar nggambar, tinggal disuruh nggambar. Jadi aku nggak belajar mbatik, cuma komando saja dan memberi ongkos,” kata Mustangidi sambil tertawa.

Mustangidi mengatakan, pekerjaannya sebagai saudagar batik bermula dari kebiasaan membantu sang ibu. Tiap pulang sekolah, Mustangidi bertugas membayar buruh-buruh batik dari desa yang berdatangan ke rumahnya. “Sekolahku pagi dan sore. Pagi sekolah agama di NDM (Jalan Trisula, Kauman), sorenya sekolah umum di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di dekat Mangkunegaran. Pulang sekolah sampai Maghrib tugasku mbelanjani wong mbatik (membayar buruh batik),” kata ibu dari sepuluh anak itu.

Ibu Mustangidi, Bu Bilal, awalnya hanya pedagang batik kecil yang membuka toko di sebuah rumah kontrakan di Kauman. “Ini dongengnya ibuku ya. Di rumah kontrakan itu, dari loteng di atasnya sering menetes lilin yang mencair saat direbus. Ibuku pintar, o, ternyata ada orang mbatik di atas. Terus ibu dapat wong mbatiknya (yakni si perajin batik tulis yang tinggal di loteng atas kiosnya). Sejak itu ibuku mulai mbatik (menjadi juragan batik tulis). Tadinya ibu cuma batik cap,” ujar Mustangidi.

Menurut Mustangidi, para juragan batik tulis pada zaman dulu biasa mencari wong mbatik (buruh batik) di desa-desa. Ciri khas seni serta keahlian buruh batik itu berbeda-beda di tiap desa. “Yang nggambar (motif) ada sendiri, yang menurut gambarnya pakai malam ada sendiri, yang ngisi dalamnya gambar ada sendiri. Jadi (tergantung) kepintarannya di mana. Kalau ada priyayi dari keraton (yang tinggal di desa) atau dekat tempat istirahat (makam) raja, pasti banyak orang mbatik,” kata dia.

Selain mendatangi ke desa-desa yang dikenal sebagai kantong buruh batik, Mustangidi mengatakan, juragan batik di Kauman dulu juga sering kedatangan para perajin batik yang menempuh perjalanan jauh dari desa dengan berjalan kaki demi menawarkan hasil karyanya.

“Kalau inget zaman dulu rasanya juga kasihan. Yang mbatik itu rumahnya Bekonang (Kabupaten Sukoharjo), ke Kauman cuma bawa dua potong. Ada juga yang dari Tawangmangu (lereng Gunung Lawu wilayah Kabupaten Karanganyar), jalan kaki cuma bawa dua potong,” kata Mustangidi.

Selain mendatangi desa-desa seperti nenek dan ibunya, Mustangidi juga terbiasa mencari buruh batik di tempat pemberhentian bus di kota. “Di ngebisan (halte atau terminal) dulu biasanya ada yang bawa gendongan (berisi kain batik). Terus saya ajak, coba ke rumah saya. Sejak itu saya punya wong mbatik di rumah. Yang mbatik di rumah kalau 15 orang ya ada,” kata Mustangidi.

Mustangidi menambahkan, buruh batik dari desa yang berdatangan ke kota untuk mencari juragan itu pada umumnya menderita penyakit beri-beri. “Kakinya pada bengkak. Dulu mereka nggak ada harganya. Kalau mengumpulkan orang mbatik itu cuma dikasih beras satu gelas per hari. Terus upahnya nggak bisa buat beli-beli. Saat itu kan zaman penjajahan. Kalau sudah mulai kerja mereka seperti diasuh (dirawat di rumah si saudagar). Jadi niatnya menolong mereka juga. Kalau nyari orang mbatik, mau butuh berapa pasti ada, tapi rumahnya juga musti ada (musti disediakan tempat tinggal),” kata Mustangidi.

Saat batik tradisional sedang berada di puncak kejayaannya, Mustangidi biasa menjual batiknya ke Bandung, Surabaya, dan sejumlah kota kecil di Jawa Tengah. “Tiap daerah punya gairah sendiri-sendiri. Ada yang senang batik ini. Ada daerah yang nggak senang batik itu karena anti,” kata Mustangidi.  

Meski upah buruh batik pada masa itu sangat murah, harga batik di pasaran terbilang mahal. “Kalau sudah laku, laku sekali. Nggak tahu apa sebabnya. Dan labanya juga banyak. Yang kasihan yang mbatik. Ongkos orang mbatik dulu murah, yang enak juragannya,” kata Mustangidi.

Memasuki masa suram batik tradisional karena kalah bersaing dengan batik printing pada awal 1980-an, Mustangidi tetap bertahan memproduksi batik. “Ya cuma jualan di kota saja, cuma di Pasar Klewer. Kalau kirim-kirim (ke luar kota) sudah nggak,” kata Mustangidi.

*
Qurrotun Ayun

Menurut salah satu putri Mustangidi yang juga menggeluti bisnis batik di Kauman, Qurrotun Ayun, masa suram batik tradisional karena kalah bersaing dengan batik printing itu bermula pada 1981 – 1982. “Waktu itu saya masih kuliah. Dulu tiap rumah di Kauman rata-rata cuma punya satu dapur (tempat untuk produksi batik). Ibu saya dulu sampai punya tiga dapur. Tapi pada 1985 sudah tidak berproduksi lagi, tinggal menjual batikyang masih tersisa saja,” kata Ayun, 55 tahun, saat ditemui Tempo di rumahnya pada Jumat, 21 September.

Sama seperti masa kecil ibunya, Ayun sudah diberi tanggung jawab untuk membayar para buruh batik sejak masih kelas 6 SD. “Waktu itu saya didampingi eyang (Mbah Bilal, orangtua Bu Mustangidi). Jadi hidup saya tiap hari sama wong mbatik, makan bareng, mbatik bareng di rumah saya,” kata Ayun yang sejak 1998 mendirikan Griya Batik Sekar Tanjung di Jalan Cakra, Kauman.

Di usia yang terbilang masih dini, keahlian Ayun sebagai calon juragan batik semakin terasah ketika kedua orangtuanya menunaikan ibadah haji pada 1970-an. “Saya anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Bagaimana jangan sampai berhenti (bisnis batik orangtuanya). Saat itu saya dibekali catatan. Jadi kalau ada wong mbatik datang ke rumah, saya yang mblanjani (memberikan upah),” kata Ayun.

Selain batik tulis yang halus, Ayun berujar, ibunya juga memproduksi batik cap. “Batik tulis zaman dulu halus sekali, nggak seperti sekarang. Kebanyakan batiknya ibuk bermotif tribusono. Ya batik alas-alasan (dasaran), sama dengan batik pakem dari keraton. Jadi motifnya masih full dan monoton. Batik modern ibu saya belum pernah pegang,” ujar Ayun.

Disinggung ihwal larangan memproduksi batik pakem untuk khalayak umum di luar keraton, Ayun mengatakan hal itu hanya berlaku pada masa awal keraton berdiri. “Sesudah itu tidak dilarang lagi. Sejak zaman nenek juga sudah memproduksi batik pakem. Motif pakem boleh dipakai masyarakat umum di luar keraton. Tapi kalau di dalam keraton, batik kan sebagai uniform, jadi motif pakem ada fungsinya sendiri-sendiri,” kata Ayun.

Di samping memproduksi batik motif tribusono, Ayun menambahkan, usaha batik ibunya juga memproduksi bermacam motif yang disesuaikan dengan minat pasar di berbagai daerah yag menjadi pelanggannya. “Ibuk dulu setornya ke mana-mana, mulai dari Kudus, Bandung, Jakarta, Surabaya, dan lain-lain. Tiap daerah punya nilai seni yang berbeda,” kata Ayun.

Jika nenek dan ibunya menjalankan usaha batik dengan cara mendatangi desa-desa yang dikenal sebagai kantong perajin batik, Ayun memilih menunggu di rumah. “Allah yang menunjukkan jalan. Di rumah ada yang ketok-ketok pintu, menawarkan batik dari desa, ya saya terima. Jadi saya nggak pernah mencari pembatik. Kebetulan ada yang masuk ke Kauman, lewat depan rumah. Kebetulan pas buka pintu ada yang menawarkan batik. Ya sudah itu berlanjut sampai sekarang,” kata Ayun.

Harga batik Ayun cukup bervarisi. Untuk batik dengan motif jarang-jarang, biasa untuk bahan baju, harganya berkisar Rp 300.000. Sedangkan kain batik panjang untuk jarik, berukuran 2,5 x 1,1 meter, harganya berkisar Rp 2 juta. “Tergantung proses dan pewarnaannya,” kata Ayun.

Meski usaha batik tradisional di Kauman kembali menggeliat setelah mati suri cukup lama, Ayun mengaku bisnis batik saat ini tidak semudah pada masa muda ibunya. “Dulu batik sedang jaya-jayanya, batik baru jadi langsung laku dijual. Sekarang musti cari pembeli dulu, kira-kira harganya sampai atau nggak. Kalau pelanggan batik ibu tentu sudah tidak ada. Jadi saya cari jalan baru, yang beli bukan orang-orang dulu. Saya jualnya ke teman-teman, kenalan, dan menawarkan di facebook,” kata Ayun.

Sementara usaha batik keluarga Mustangidi masih berlanjut, tidak demikian dengan batik Puspaningrat. Puspaningrat adalah merek batik dari Wignyo Dinomo, mantan saudagar batik asal Kelurahan Kemlayan, Kecamatan Serengan, Kota Solo. Kemlayan tepatnya berada di sebelah barat Kauman.

“Bapak dan Ibu Wignyo Dinomo sudah meninggal sebelum 1998. Puspaningrat itu nama batiknya. Semua putranya di Jakarta, tidak ada yang melanjutkan usaha batik. Sedangkan rumah ini sekarang untuk homestay. Saya bekerja di sini sejak 2006,” kata Joko, pengelola homestay Paradise di Gang Empu Panuluh, Kemlayan, saat ditemui pada Sabtu, 22 September.

Tagged
Different Themes
Written by Templateify

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar

Recent