Tien Kok Sie, Klenteng Buddhis Tertua di Surakarta
Di balik riuh dan sibuknya Pasar Gede Hardjonegoro Kota Surakarta, di tengah himpitan toko-toko yang memanjang di tepi selatan Jalan RE Martadinata, menyembul sebuah bangunan klasik berarsitektur Tionghoa yang didominasi warna merah menyala. Klenteng Tien Kok Sie namanya.
Dari luar, klenteng yang juga dikenal dengan nama Vihara Avalokitesvara itu tidak jauh berbeda dengan tempat ibadah Tridharma (Taoisme, Khonghucu, Buddha) pada umumnya. Namun, begitu menapakkan kaki ke dalamnya, klenteng itu tak ubahnya lorong waktu yang siap mengantar siapa saja untuk kembali mengenang masa awal berdirinya Kota Surakarta.
Menurut Humas Klenteng Tien Kok Sie, Chandra Halim, klenteng yang bertuan rumah Kwan She Im Poo Sat ini usianya tidak terpaut jauh dengan Keraton Surakarta Hadiningrat yang dibangun pada 1744 - 1745. Sayangnya, hingga kini belum ditemukan prasasti ataupun dokumen resmi yang mencatat secara pasti sejak kapan klenteng Tien Kok Sie ini berdiri.
“Sejarawan dari Universitas Sebelas Maret Surakarta maupun peneliti dari Jepang yang bertandang ke sini beberapa waktu lalu juga kesulitan mencari kepastian tanggal lahir klenteng ini,” kata Halim saat saya bertandang ke Klenteng Tien Kok Sie pada Senin, 17 Oktober 2016.
Namun, dari artikel yang pernah dia baca, alumnus Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Shanata Dharma Yogyakarta itu meyakini pada 1780 Klenteng Tien Kok Sie sudah eksis sebagai tempat peribadatan sekaligus tempat interaksi sosial masyarakat Tionghoa.
*
Keberadaan Klenteng Tien Kok Sie tidak dapat dipisahkan dari peristiwa sejarah yang dikenal dengan sebutan Geger Pecinan, pertempuran antara etnis Tionghoa melawan kongsi dagang Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie / VOC) di Batavia (sekarang Jakarta) pada 1740. Geger Pecinan atau juga disebut Tragedi Angke itu dipicu oleh politik pengurangan etnis Tionghoa oleh VOC.
Karena terdesak dalam peperangan melawan VOC, masyarakat Tionghoa di Batavia memutuskan berpindah ke Jawa Tengah, bergabung dengan komunitasnya di wilayah Kasunanan Kartasura. “Komunitas masyarakat Tionghoa di Kartasura itu awalnya dari Simongan (Semarang), Tuban, dan sejumlah daerah lain dari Jawa Timur,” kata Halim.
Oleh raja Kasunanan Kartasura, Pakubuwono (PB) II, komunitas Tionghoa dimanfaatkan sebagai tambahan kekuatan untuk melawan VOC. Tapi setelah melihat kekuatan VOC jauh lebih besar, dukungan Pakubuwono II pun berbalik arah.
Menyitir tulisan Peter Carey dalam buku Geger Pecinan, Halim mengatakan, sikap PB II tersebut memicu kemarahan para pejuang anti VOC, baik dari masyarakat Tionghoa maupun pribumi. Geger Pecinan kedua pun tak terelakkan hingga berujung pada hancurnya Keraton Kartasura.
“Setelah PB II membangun keraton baru dengan nama Surakarta di Desa Sala, masyarakat Tionghoa juga meninggalkan Kartasura dan mulai bermukim di utara Pasar Gede,” kata Halim. Klenteng Tien Kok Sie yang semula berada di dekat keraton Kartasura juga turut dibongkar dan dibangun kembali tepat di utara Sungai Pepe, Pasar Gede.
Halim mengaku pernah melakukan penelusuran di Kartasura untuk melacak jejak klenteng yang menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Tionghoa melawan VOC itu. “Tapi sudah tidak ada bekas atau peninggalan sama sekali,” kata Halim.
Sejak dibangun di utara Sungai Pepe, Halim mengklaim belum pernah terjadi pemugaran dalam skala besar terhadap Klenteng Tien Kok Sie.
“Sejak pertama dibangun sampai sekarang tidak pernah ada peristiwa yang menyakitkan pada klenteng ini, baik pada masa Gestok (Gerakan Satu Oktober 1965) hingga kerusuhan 1998. Klenteng ini aman-aman saja,” kata Halim.
Halim meyakini hampir semua struktur bangunan Klenteng Tien Kok Sie masih asli: mulai dari dua arca singa penolak bala (Ciok Say) yang berjaga di luar gerbang, lukisan dewa penjaga pintu di dua arca naga yang mengapit bola mustika di puncak atap depannya, hingga pilar-pilar kayu jati yang menyangga kuda-kuda berhiaskan ukiran naga.
“Paling hanya catnya saja yang diperbarui,” kata Halim. Agar mendekati warna asli, cat merah hati yang melapisi pilar-pilar kayu dan sejumlah ornamen di klenteng ini khusus didatangkan dari Tiongkok. Pada 1997, Kepala Daerah Tingkat II Surakarta menetapkan Klenteng Tien Kok Sie sebagai cagar budaya.
Namun, Halim juga tidak memungkiri adanya benda peninggalan sejarah di dalam klenteng yang telah raib. Salah satunya lonceng atau genta kuno yang dulu digantung di ruang depan sisi barat. Kini, lonceng tersebut digantikan dengan yang baru dan dipasang di tempat yang sama.
*
Tidak hanya merekam sejarah perpindahan keraton Surakarta dari Kartasura, Klenteng Tien Kok Sie juga menyimpan kisah kejayaan Bengawan Solo yang menjadi jalur perdagangan utama di Pulau Jawa pada kurun abad 18 - 19.
Keberadaan altar Thian Siang Sing Bo atau dewi laut adalah petunjuknya. Selain patung Kwan She Im Poo Sat, Halim berujar, Thian Siang Sing Bo adalah patung “wajib” yang dibawa imigran dari Tiongkok saat berlayar mengarungi lautan.
“Meski jauh dari laut, masyarakat Tionghoa di Surakarta pada zaman dulu juga berdoa kepada Thian Siang Sing Bo demi keselamatan selama berlayar di Bengawan Solo,” ujar Halim. Pada abad 18 - 19, Halim mengatakan, Sungai Pepe yang tepat di belakang Klenteng Tien Kok Sie adalah gerbang utama menuju Bengawan Solo yang menjadi jalur utama penghubung Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Selain dari sisi sejarah, masih ada satu hal menarik lagi di Klenteng Tien Kok Sie. “Tien Kok Sie ini satu-satunya klenteng di Solo Raya yang bercorak Buddhis dari mazhab Zen,” kata Halim. Corak Budhis mazhab Zen itu bisa dikenali dari keberadaan patung Kwan She Im Poo Sat yang letaknya berjajar dengan San Po Fo di belakangnya dan Wei Tuo Poo Sat (pelindung dharma) di depannya.
Petunjuk lain dari corak Buddhis mazhab Zen itu adalah keberadaan sebuah papan kayu bertuliskan huruf-huruf mandarin warna emas di altar Fu Lu Sho, di ujung timur ruang belakang klenteng. “Papan itu menuliskan nama-nama para leluhur aliran Zen yang pernah menghadiri suatu perayaan di klenteng ini. Papan kayu itu sempat membuat peneliti dari Jepang berdecak kagum,” kata Halim.
Meski bercorak Buddhis Zen, klenteng Tien Kok Sie terbuka bagi seluruh umat Tridharma maupun masyarakat umum yang tertarik mempelajari sejarah dan budaya Tionghoa. “Di sini juga ada sembahyang umat Buddha tiap hari upostaha atau ceit (bulan mati/tilem) dan capgo (bulan purnama). Bacaannya seperti sembahyang biasa,” kata Halim.