google-site-verification: google81f2ee356101f507.html Buruh Nulis: WISATA
Open top menu
Tampilkan postingan dengan label WISATA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WISATA. Tampilkan semua postingan
Selasa, 15 Januari 2019
no image

Di balik riuh dan sibuknya Pasar Gede Hardjonegoro Kota Surakarta, di tengah himpitan toko-toko yang memanjang di tepi selatan Jalan RE Martadinata, menyembul sebuah bangunan klasik berarsitektur Tionghoa yang didominasi warna merah menyala. Klenteng Tien Kok Sie namanya.

Dari luar, klenteng yang juga dikenal dengan nama Vihara Avalokitesvara itu tidak jauh berbeda dengan tempat ibadah Tridharma (Taoisme, Khonghucu, Buddha) pada umumnya. Namun, begitu menapakkan kaki ke dalamnya, klenteng itu tak ubahnya lorong waktu yang siap mengantar siapa saja untuk kembali mengenang masa awal berdirinya Kota Surakarta.

Menurut Humas Klenteng Tien Kok Sie, Chandra Halim, klenteng yang bertuan rumah Kwan She Im Poo Sat ini usianya tidak terpaut jauh dengan Keraton Surakarta Hadiningrat yang dibangun pada 1744 - 1745. Sayangnya, hingga kini belum ditemukan prasasti ataupun dokumen resmi yang mencatat secara pasti sejak kapan klenteng Tien Kok Sie ini berdiri.

“Sejarawan dari Universitas Sebelas Maret Surakarta maupun peneliti dari Jepang yang bertandang ke sini beberapa waktu lalu juga kesulitan mencari kepastian tanggal lahir klenteng ini,” kata Halim saat saya bertandang ke Klenteng Tien Kok Sie pada Senin, 17 Oktober 2016.

Namun, dari artikel yang pernah dia baca, alumnus Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Shanata Dharma Yogyakarta itu meyakini pada 1780 Klenteng Tien Kok Sie sudah eksis sebagai tempat peribadatan sekaligus tempat interaksi sosial masyarakat Tionghoa.

*

Keberadaan Klenteng Tien Kok Sie tidak dapat dipisahkan dari peristiwa sejarah yang dikenal dengan sebutan Geger Pecinan, pertempuran antara etnis Tionghoa melawan kongsi dagang Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie / VOC) di Batavia (sekarang Jakarta) pada 1740. Geger Pecinan atau juga disebut Tragedi Angke itu dipicu oleh politik pengurangan etnis Tionghoa oleh VOC.

Karena terdesak dalam peperangan melawan VOC, masyarakat Tionghoa di Batavia memutuskan berpindah ke Jawa Tengah, bergabung dengan komunitasnya di wilayah Kasunanan Kartasura. “Komunitas masyarakat Tionghoa di Kartasura itu awalnya dari Simongan (Semarang), Tuban, dan sejumlah daerah lain dari Jawa Timur,” kata Halim.

Oleh raja Kasunanan Kartasura, Pakubuwono (PB) II, komunitas Tionghoa dimanfaatkan sebagai tambahan kekuatan untuk melawan VOC. Tapi setelah melihat kekuatan VOC jauh lebih besar, dukungan Pakubuwono II pun berbalik arah.

Menyitir tulisan Peter Carey dalam buku Geger Pecinan, Halim mengatakan, sikap PB II tersebut memicu kemarahan para pejuang anti VOC, baik dari masyarakat Tionghoa maupun pribumi. Geger Pecinan kedua pun tak terelakkan hingga berujung pada hancurnya Keraton Kartasura.

“Setelah PB II membangun keraton baru dengan nama Surakarta di Desa Sala, masyarakat Tionghoa juga meninggalkan Kartasura dan mulai bermukim di utara Pasar Gede,” kata Halim. Klenteng Tien Kok Sie yang semula berada di dekat keraton Kartasura juga turut dibongkar dan dibangun kembali tepat di utara Sungai Pepe, Pasar Gede.

Halim mengaku pernah melakukan penelusuran di Kartasura untuk melacak jejak klenteng yang menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Tionghoa melawan VOC itu. “Tapi sudah tidak ada bekas atau peninggalan sama sekali,” kata Halim.
Sejak dibangun di utara Sungai Pepe, Halim mengklaim belum pernah terjadi pemugaran dalam skala besar terhadap Klenteng Tien Kok Sie.

“Sejak pertama dibangun sampai sekarang tidak pernah ada peristiwa yang menyakitkan pada klenteng ini, baik pada masa Gestok (Gerakan Satu Oktober 1965) hingga kerusuhan 1998. Klenteng ini aman-aman saja,” kata Halim.

Halim meyakini hampir semua struktur bangunan Klenteng Tien Kok Sie masih asli: mulai dari dua arca singa penolak bala (Ciok Say) yang berjaga di luar gerbang, lukisan dewa penjaga pintu di dua arca naga yang mengapit bola mustika di puncak atap depannya, hingga pilar-pilar kayu jati yang menyangga kuda-kuda berhiaskan ukiran naga.

“Paling hanya catnya saja yang diperbarui,” kata Halim. Agar mendekati warna asli, cat merah hati yang melapisi pilar-pilar kayu dan sejumlah ornamen di klenteng ini khusus didatangkan dari Tiongkok. Pada 1997, Kepala Daerah Tingkat II Surakarta menetapkan Klenteng Tien Kok Sie sebagai cagar budaya.

Namun, Halim juga tidak memungkiri adanya benda peninggalan sejarah di dalam klenteng yang telah raib. Salah satunya lonceng atau genta kuno yang dulu digantung di ruang depan sisi barat. Kini, lonceng tersebut digantikan dengan yang baru dan dipasang di tempat yang sama.
*
Tidak hanya merekam sejarah perpindahan keraton Surakarta dari Kartasura, Klenteng Tien Kok Sie juga menyimpan kisah kejayaan Bengawan Solo yang menjadi jalur perdagangan utama di Pulau Jawa pada kurun abad 18 - 19.

Keberadaan altar Thian Siang Sing Bo atau dewi laut adalah petunjuknya. Selain patung Kwan She Im Poo Sat, Halim berujar, Thian Siang Sing Bo adalah patung “wajib” yang dibawa imigran dari Tiongkok saat berlayar mengarungi lautan.

“Meski jauh dari laut, masyarakat Tionghoa di Surakarta pada zaman dulu juga berdoa kepada Thian Siang Sing Bo demi keselamatan selama berlayar di Bengawan Solo,” ujar Halim. Pada abad 18 - 19, Halim mengatakan, Sungai Pepe yang tepat di belakang Klenteng Tien Kok Sie adalah gerbang utama menuju Bengawan Solo yang menjadi jalur utama penghubung Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Selain dari sisi sejarah, masih ada satu hal menarik lagi di Klenteng Tien Kok Sie. “Tien Kok Sie ini satu-satunya klenteng di Solo Raya yang bercorak Buddhis dari mazhab Zen,” kata Halim. Corak Budhis mazhab Zen itu bisa dikenali dari keberadaan patung Kwan She Im Poo Sat yang letaknya berjajar dengan San Po Fo di belakangnya dan Wei Tuo Poo Sat (pelindung dharma) di depannya.

Petunjuk lain dari corak Buddhis mazhab Zen itu adalah keberadaan sebuah papan kayu bertuliskan huruf-huruf mandarin warna emas di altar Fu Lu Sho, di ujung timur ruang belakang klenteng.  “Papan itu menuliskan nama-nama para leluhur aliran Zen yang pernah menghadiri suatu perayaan di klenteng ini. Papan kayu itu sempat membuat peneliti dari Jepang berdecak kagum,” kata Halim.

Meski bercorak Buddhis Zen, klenteng Tien Kok Sie terbuka bagi seluruh umat Tridharma maupun masyarakat umum yang tertarik mempelajari sejarah dan budaya Tionghoa. “Di sini juga ada sembahyang umat Buddha tiap hari upostaha atau ceit (bulan mati/tilem) dan capgo (bulan purnama). Bacaannya seperti sembahyang biasa,” kata Halim.

Read more
Kamis, 10 Januari 2019
Telaga Biru, Grand Canyon Bekas Palu Penambang Batu


GUNUNGKIDUL - Suara mesin pemotong batu dan gerinda (grinding wheels) begitu memekakkan telinga saat Tempo mengunjungi lokasi pertambangan batu alam di kawasan Bukit Ngarangan wilayah Dusun Ngentak, Desa Candirejo, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, DIY, pada akhir pekan lalu.

Siang di bukit tandus yang berbatasan dengan wilayah Kecamatan Watukelir, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu terasa jauh lebih menyengat. Selain karena tak banyak pohon yang tersisa untuk berteduh, terik sinar matahari juga dipantulkan oleh remah-remah batu kapur dan bongkahan batu alam yang terserak di areal seluas sekitar satu hektare itu.

"Apakah foto-foto yang beredar di komputer (internet) itu yang membawa anda sampai ke sini?" tanya Kardiyono, salah seorang penambang batu saat menyambut Tempo. 

Setahun lalu, lelaki 56 tahun itu mengatakan, ada seorang fotografer yang memotret lokasi pertambangan batu alam tempatnya bekerja sejak 1996. Fotografer itu memotret dari ketinggian untuk mengabadikan cekungan bekas galian yang terisi air hujan. 

Setelah foto yang disertai keterangan singkat itu diunggah di internet, lokasi pertambangan batu alam yang tersembunyi di balik Jalan Semin-Watukeliritu lekas menjadi buruan para netizen (internet citizen) yang sebagian besar dari kalangan muda. "Sampai di sini, mereka foto-foto lagi, disebar di internet lagi. Jadinya semakin terkenal," kata Kardiyono.

Dari pantauan Tempo, lokasi pertambangan batu di Dusun Ngentak itu memang menyuguhkan panorama yang memukau. Dari puncak bukit yang mengapitnya, genangan air tenang pada cekungan yang berkelok membentuk huruf S itu membiaskan warna biru langit dengan sempurna. Maka itu, lokasi pertambangan tersebut dikenal dengan sebutan Telaga Biru. 

"Entah siapa yang pertama memberi nama itu. Yang jelas, kalau musim kemarau, airnya mengering dan menyisakan cekungan sedalam lima meter," kata Kardiyono.

Diapit tebing terjal bekas aktivitas pertambangan manual, cekungan berair biru itu sekilas mirip Grand Canyon, salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang berada di Amerika. Bedanya, tebing-tebing terjal di Grand Canyon diukir secara alami oleh Sungai Colorado selama jutaan tahun. Sedangkan bukit dan cekungan di Telaga Biru terbentuk berkat eksploitasi alam secara besar-besaran sejak 21 tahun lalu. 

"Dulu ada seratusan penambang batu. Semuanya secara manual, hanya menggunakan tatah, palu, dan linggis," kata Kardiyono. Pada 1997, dia berujar, pernah ada investor dari Korea yang mendirikan pabrik pengolahan batu alam tak jauh dari lokasi penambangan. Namun, pabrik itu hanya beroperasi sekitar 1,5 tahun. 

Kini, batu alam yang telah dipotong dan dihaluskan di sekitar lokasi pertambangan itu diekspor ke Korea dan Jepang melalui Bandung. "Rata-rata dalam 3 - 7 hari saya sendiri bisa mengumpulkan satu rit (bak truk). Harganya Rp 50.000 per meter persegi," kata Kardiyono.

Ihwal banyaknya pengunjung yang berdatangan dari berbagai daerah, Kardiyono mengatakan, kecil kemungkinan lokasi pertambangan itu bakal dikelola menjadi obyek wisata, baik oleh warga setempat maupun pemerintah daerah. "Bukit ini milik perorangan, ada sekitar 50 warga pemiliknya, termasuk saya. Bukit ini kelak juga akan habis karena terus ditambang," kata Kardiyono.  

Menurut salah seorang pengunjung Telaga Biru, Hadi Prayitno, 35 tahun, ada perasaan dilematis saat hendak berfoto dengan latar belakang bekas penambangan batu itu. "Memang secara visual menarik. Tapi kok rasanya nggak tega bersenang-senang di atas penderitaan alam," kata warga Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten itu.

Hadi mengaku semula tidak tahu jika Telaga Biru yang fotonya berlalu lalang di media sosial itu adalah lokasi pertambangan batu. "Saya kira memang telaga alami. Kebetulan jaraknya cuma setengah jam dari Klaten, makanya saya sempatkan ke sini," kata pehobi fotografi itu.










Read more
Rabu, 09 Januari 2019
Kian Semarak Dengan Balumbang Siblarak


Senja di Balumbang Siblarak

Berawal dari Umbul Kemanten yang tersembunyi di tapal batas, Sidowayah tumbuh menjadi salah satu desa tercantik di Kabupaten Klaten yang memiliki banyak obyek wisata. Berani berinovasi adalah kuncinya. Tahun ini, Desa Sidowayah akan meluncurkan obyek wisata baru dengan beragam wahana di dalamnya. Balumbang Siblarak namanya.

Senja di pengujung 2018. Dengan rambut masih basah dan bertelanjang dada, sejumlah anak berkejaran di tepi kolam berdinding batu yang airnya berkilauan oleh cahaya keemasan dari matahari nan jatuh perlahan di balik Gunung Merapi dan Merbabu.

“Tak harus ke pantai untuk menikmati keindahan panorama kala matahari tenggelam,” kata Wisnu Nugroho, salah satu pengunjung Balumbang Siblarak. Ditemani segelas kopi dari warung angkringan di sisi timur balumbang, fotografer profesional asal Kecamatan Delanggu, Klaten, itu sesekali mengarahkan kameranya untuk mengabadikan momen.

Balumbang Siblarak adalah obyek wisata baru di Sidowayah, Kecamatan Polanharjo. Dibangun pada 2017 dengan anggaran sekitar Rp 645 juta, kawasan wisata seluas 2,5 hektare dengan wahana utama berupa balumbang atau kolam buatan itu dicanangkan sebagai destinasi alternatif dari Umbul Kemanten. Balumbang Siblarak berada di timur Umbul Kemanten, sekitar satu kilometer.

Berkedalaman sekitar 1,5 meter - 1,8 meter, air di Balumbang Siblarak cukup jernih dan segar karena disalurkan langsung menggunakan jaringan pipa dari dua sumber mata air alami, yaitu Umbul Kemanten dan Umbul Doyo. Meski belum diresmikan, selama dua bulan perdana sejak dibuka untuk umum, Balumbang Siblarak rata-rata bisa dikunjungi sekitar 60 - 100 orang per hari.

Direktur Utama BUMDes Sinergi Desa Sidowayah, Imron, mengatakan Balumbang Siblarak saat ini masih dalam proses pengembangan. Selain menyiapkan sarana dan prasarana untuk melayani kebutuhan dasar wisata, BUMDes Sinergi juga akan menambah sejumlah wahana baru di sekeliling balumbang.

“Tahun ini kami berencana memasang kincir air di balumbang untuk pembangkit listrik. Anggarannya sekitar Rp 50 juta,” kata Imron. Listrik yang dihasilkan dari kincir air itu untuk memenuhi kebutuhan energi dari sejumlah wahana di Balumbang Siblarak.

“Salah satunya untuk kafe yang akan kami bangun di  tengah sawah. Kalau bisa bikin listrik sendiri kan lebih hemat, bisa buka sampai malam,” kata Imron. Dia berujar, keberadaan kincir air tersebut juga bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berswafoto.

Saat ini Balumbang Siblarak telah dilengkapi wahana yang memompa adrenalin, yaitu flying byur. Dengan membayar tiket Rp 10.000 selama masa promosi, pengunjung bisa merasakan sensasi meluncur pada kabel baja sepanjang 80 meter dari ketinggian 8 meter dan mendarat di kolam. “Kami juga akan membuat kolam susun dan memasang high rope (permainan tali di atas ketinggian),” ujar Imron.

Bagi yang gemar bertualang, Balumbang Siblarak juga akan menyewakan sejumlah ATV (kendaraan segala medan beroda empat) dan motor trail untuk menyusuri kawasan Balumbang Siblarak. Imron menambahkan, Balumbang Siblarak baru diresmikan setelah fasilitas dan wahananya sudah lengkap.

“Harga tiket masuk Balumbang Siblarak hanya Rp 5.000, itu sudah bebas bermain di kolam. Sedangkan tarif sewa ATV rencananya sekitar Rp 15.000 per 15 menit,” kata Imron. Karena belum diresmikan, Balumbang Siblarak saat ini terbilang masih gratis. Tiap pengunjung hanya dipungut sumbangan Rp 3.000 untuk jasa parkir dan kebersihan.

Read more

Recent