Di
kampung kami yang multikultural, nasionalisme ibarat agama kedua. Agustus
sebagai bulan sucinya dan karnaval menjadi puncak hari rayanya. Seperti halnya
Idul Fitri, Natal, atau Nyepi, karnaval di kampung kami adalah momen yang
spesial sekaligus sakral. Menyambutnya pun tak asal.
Sejak
jauh hari, muda-tua memutar otak untuk menentukan tema dan menyusun konsep yang
berbeda dan yang lebih menggelegar dari tahun-tahun sebelumnya. Soal berapa dan
dari mana biayanya, jangan tanya semangat "gotong-royong" kami - yang
sejak dulu telah diabadikan jadi nama gerbang masuk kampung (simpang empat
Jalan Raya Delanggu, Solo - Jogja).
Dan
yang perlu dicatat, semua ini bukan demi kompetisi (meski konsekuensi dari
totalitas berkarya selalu menjadikan kampung kami sebagai juara karnaval di tingkat
desa). Tapi karena kami meyakini bahwa hidup harus berarti, minimal setahun
sekali: sedekah kebahagiaan, berbagi tawa di jalanan kepada siapa saja yang
siang itu masih bekerja meski angka di kalender sedang merah-merahnya
0 komentar