GUNUNGKIDUL
- Suara mesin pemotong batu dan gerinda (grinding wheels) begitu memekakkan
telinga saat Tempo mengunjungi lokasi pertambangan batu alam di kawasan Bukit
Ngarangan wilayah Dusun Ngentak, Desa Candirejo, Kecamatan Semin, Kabupaten
Gunungkidul, DIY, pada akhir pekan lalu.
Siang
di bukit tandus yang berbatasan dengan wilayah Kecamatan Watukelir,
Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu terasa jauh lebih menyengat. Selain
karena tak banyak pohon yang tersisa untuk berteduh, terik sinar matahari juga dipantulkan
oleh remah-remah batu kapur dan bongkahan batu alam yang terserak di areal
seluas sekitar satu hektare itu.
"Apakah
foto-foto yang beredar di komputer (internet) itu yang membawa anda sampai ke
sini?" tanya Kardiyono, salah seorang penambang batu saat menyambut
Tempo.
Setahun
lalu, lelaki 56 tahun itu mengatakan, ada seorang fotografer yang memotret
lokasi pertambangan batu alam tempatnya bekerja sejak 1996. Fotografer itu
memotret dari ketinggian untuk mengabadikan cekungan bekas galian yang terisi
air hujan.
Setelah
foto yang disertai keterangan singkat itu diunggah di internet, lokasi
pertambangan batu alam yang tersembunyi di balik Jalan Semin-Watukeliritu lekas
menjadi buruan para netizen (internet citizen) yang sebagian besar dari kalangan
muda. "Sampai di sini, mereka foto-foto lagi, disebar di internet lagi.
Jadinya semakin terkenal," kata Kardiyono.
Dari
pantauan Tempo, lokasi pertambangan batu di Dusun Ngentak itu memang
menyuguhkan panorama yang memukau. Dari puncak bukit yang mengapitnya, genangan
air tenang pada cekungan yang berkelok membentuk huruf S itu membiaskan warna
biru langit dengan sempurna. Maka itu, lokasi pertambangan tersebut dikenal
dengan sebutan Telaga Biru.
"Entah
siapa yang pertama memberi nama itu. Yang jelas, kalau musim kemarau, airnya
mengering dan menyisakan cekungan sedalam lima meter," kata Kardiyono.
Diapit
tebing terjal bekas aktivitas pertambangan manual, cekungan berair biru itu
sekilas mirip Grand Canyon, salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang berada
di Amerika. Bedanya, tebing-tebing terjal di Grand Canyon diukir secara alami
oleh Sungai Colorado selama jutaan tahun. Sedangkan bukit dan cekungan di Telaga Biru
terbentuk berkat eksploitasi alam secara besar-besaran sejak 21 tahun
lalu.
"Dulu
ada seratusan penambang batu. Semuanya secara manual, hanya menggunakan tatah,
palu, dan linggis," kata Kardiyono. Pada 1997, dia berujar, pernah ada
investor dari Korea yang mendirikan pabrik pengolahan batu alam tak jauh dari
lokasi penambangan. Namun, pabrik itu hanya beroperasi sekitar 1,5 tahun.
Kini,
batu alam yang telah dipotong dan dihaluskan di sekitar lokasi pertambangan itu
diekspor ke Korea dan Jepang melalui Bandung. "Rata-rata dalam 3 - 7 hari
saya sendiri bisa mengumpulkan satu rit (bak truk). Harganya Rp 50.000 per
meter persegi," kata Kardiyono.
Ihwal
banyaknya pengunjung yang berdatangan dari berbagai daerah, Kardiyono
mengatakan, kecil kemungkinan lokasi pertambangan itu bakal dikelola menjadi
obyek wisata, baik oleh warga setempat maupun pemerintah daerah. "Bukit
ini milik perorangan, ada sekitar 50 warga pemiliknya, termasuk saya. Bukit ini
kelak juga akan habis karena terus ditambang," kata Kardiyono.
Menurut
salah seorang pengunjung Telaga Biru, Hadi Prayitno, 35 tahun, ada
perasaan dilematis saat hendak berfoto dengan latar belakang bekas penambangan
batu itu. "Memang secara visual menarik. Tapi kok rasanya nggak tega
bersenang-senang di atas penderitaan alam," kata warga Kecamatan Delanggu,
Kabupaten Klaten itu.
Hadi
mengaku semula tidak tahu jika Telaga Biru yang fotonya berlalu
lalang di media sosial itu adalah lokasi pertambangan batu. "Saya kira
memang telaga alami. Kebetulan jaraknya cuma setengah jam dari
Klaten, makanya saya sempatkan ke sini," kata pehobi fotografi itu.
0 komentar