KLATEN – Sudah lama punya hobi
bertualang sekaligus mengabadikan momen-momen berharga di sepanjang perjalanan
menggunakan kamera video? Sekaranglah waktunya membuat resolusi untuk tahun
depan bahwa kedua hobi yang saling terpaut tersebut musti menelurkan karya yang
lebih serius, seperti film dokumenter.
Tidak sedikit film dokumenter
karya anak bangsa yang meraih penghargaan di kancah internasional. Sebut saja “Jalanan”,
yang mengisahkan tiga musisi jalanan Jakarta, terpilih sebagai film dokumenter
terbaik di Busan International Film Festival di Korea pada 2013.
Ada pula “Renita, Renita” karya
Tonny Trimarsanto, yang mengisahkan kehidupan transgender asal Donggala di
Jakarta, terpilih sebagai Best Short Asia Film di Cinemanila International Film
Festival 2007 di Filipina dan Best Film di Culture Unplugged International Film
Festival 2009 di India.
Tertantang membuat film
dokumenter? Rumah Dokumenter yang beralamat di komplek perumahan Griya Prima
Barat 5/19 Belang Wetan, Kecamatan Klaten Utara, Kabupaten Klaten, adalah salah
satu tempat yang bisa dikunjungi untuk belajar lebih dalam hal ihwal film
dokumenter.
Rumah Dokumenter adalah sebutan
untuk tempat tinggal Tonny Trimarsanto bersama istri dan tiga anaknya. Di rumah
yang memadukan arsitektur Jawa berupa pendopo untuk ruang depan dan gaya
modern-minimalis di ruang tengah dan belakang itu, Tonny menggembleng para
sineas muda dari berbagai daerah yang berminat menekuni film dokumenter tanpa
memungut biaya.
“Biasanya banyak yang ke sini
pada awal tahun atau saat musim libur sekolah. Ada juga yang menginap
berhari-hari, saya sediakan tempat di ruang studio (lantai atas),” kata Tonny
pada Rabu, 20 Desember
2017. Di Rumah Dokumenter, Tonny tidak memberikan materi tentang teknik
mengambil gambar yang bisa dipelajari sendiri dari internet.
“Tapi lebih berupa pendampingan
kepada para sineas muda dalam menerjemahkan gagasan mereka ke dalam film
dokumenter,” kata Tonny yang baru meraih Piala Citra kategori film dokumenter
panjang terbaik dalam penganugerahan Festival Film Indonesia (FFI) 2017 di
Manado pada 11 November lalu berkat karyanya yang berjudul Bulu Mata.
Menurut Tonny, proses pembuatan
film dokumenter secara garis besar bisa dikelompokkan dalam enam tahapan,
yaitu:
1. Menterjemahkan
Ide
Sumber ide untuk
film dokumenter bisa dari berita, buku bacaan, hasil penelitian, cerita orang,
hasil pengamatan lingkungan sosial, dan lain-lain. Ide cerita film bisa sangat
umum, subyeknya dapat berubah atau berganti.
Berbeda dengan
film fiksi yang adegan dan jalan ceritanya bisa didesain sesuka hati, semua
peristiwa dalam film dokumenter adalah nyata,. “Maka itu pembuat film
dokumenter harus melakukan riset untuk mencari tokoh yang dapat mewakili ide
cerita,” kata Tonny.
2. Mencoba
Riset
Riset bisa
dilakukan dalam dua cara, yaitu riset pustaka dan riset visual (lapangan).
Dalam riset visual, pembuat film dokumenter akan mengumpulkan data yang sesuai
dengan ide cerita, mencari tokoh yang akan menjadi narasumber dalam film, menentukan
lokasi shooting dan menghitung lamanya
waktu shooting.
3. Menulis
Shooting Script
Dari hasil
riset, pembuat film dokumenter punya gambaran konkret tentang karakter dan
subyek yang dirangkum dalam sinopsis. Langkah selanjutnya adalah menulis shooting script guna membuat alur cerita
untuk menyampaikan pesan dalam film.
4. Merekam
Peristiwa
Buat jadwal shooting dan upayakan menepatinya.
“Setia pada jadwal itu prioritas, harus tepat waktu agar tak kehilangan momen,”
kata Tonny. Dalam proses merekam, pembuat film dokumenter juga harus
membayangkan proses editingnya untuk menata urutan adegan yang sedang direkam.
5. Pasca-produksi
Meninjau semua
materi shooting yang didapat, membuat transkrip wawancara, mengedit script, memotong dan menyusun gambar
sesuai dengan informasi-estetik-dramatik, dan menata peristiwa, musik, serta
informasi yang harus muncul dominan dalam sepanjang durasi film.
“Pasca-produksi adalah fase terakhir yang sangat menantang,” kata Tonny.
6. Mencari
Festival
Pembuat film harus
dapat mengukur kualitas dan pencapaian karyanya. Setelah itu baru memilih dan
mencari festival, ajang untuk membuka akses. Jika film yang dikirimkan ikut diputar
dan dikompetisikan, kurator dan festival film dunia akan mudah mengakses.
“Sekarang, tiap tahun ada puluhan festival film dunia yang menyodori saya form
aplikasi atau sekadar menanyakan karya film baru saya via email,” kata Tonny.
0 komentar