Tonny Trimarsanto |
KLATEN – Ditemani segelas kopi
arabika Toraja yang diseduh sendiri, di pendopo rumahnya yang basah oleh
tempias hujan deras pada Selasa malam lalu, Tonny Trimarsanto menceritakan
sekelumit perjalanan panjangnya berkecimpung di dunia film.
“Saya otodidak, tidak punya dasar
pendidikan sinematografi. Kebetulan dulu sering nongkrong di TBS (Taman Budaya
Jawa Tengah di Solo), nonton pemutaran film. Tiba-tiba Mas Garin butuh periset
visual untuk film Bulan Tertusuk Ilalang pada 1992. Sejak itu saya membantu dia
sampai tahun 2000,” kata lulusan ilmu politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta itu.
Delapan tahun bekerja sebagai
periset materi visual dan penata artistik untuk sejumlah film besutan Garin
Nugroho membuat Tonny Trimarsanto punya cukup bekal untuk mulai meniti karirnya
sendiri sebagai sutradara film dokumenter.
“Karena passion saya di situ (dokumenter). Kerja di artistik sebetulnya
menarik, jadi punya prespektif tentang ruang, cita rasa, visual, dan lain-lain.
Tapi delapan tahun cukuplah, saya sudah tahu bagaimana kerjanya. Kalau di
dokumenter kan lebih lengkap,” kata lelaki kelahiran 21 Oktober 1970 itu.
Selain terlatih membuat cerita
dan mengemasnya menjadi kisah yang menarik, pengalaman kerja sebagai periset materi
visual dalam produksi film fiksi juga mengasah insting Tonny dalam memilih
calon narasumber yang akan menjadi tokoh dalam film dokumenternya.
Ketajaman insting Tonny dalam
menyeleksi karakter semakin terasah setelah belasan tahun menekuni produksi film
dokumenter. Seperti diketahui, ada sejumlah batasan etis yang lebih mengikat
pembuat film dokumenter dibandingkan dengan film fiksi.
“Tidak ada honor untuk tokoh
dalam film dokumenter. Tapi saya mengganti waktu produktif dia yang saya
gunakan. Misalnya Renita bekerja di salon sejak pukul 08.00 - 16.00 dapat Rp
100.000. Karena waktu produktifnya saya comot untuk buat film, maka saya ganti
sesuai pendapatannya,” kata suami dari Damayanti dan ayah untuk Prana, Latu,
dan Tantra itu.
Menurut Tonny, besaran upah yang
dia ganti selama proses produksi film dokumenternya bukanlah alasan bagi para
karakternya untuk bersedia diangkat kisahnya. “Karena mereka terpanggil untuk
menjadi sosok yang inspired, yang
menginspirasi orang lain,” kata dia.
Tidak mudah membujuk kaum-kaum
minoritas yang tersisih dan rentan mengalami diskriminasi seperti transgender
untuk diangkat kisahnya ke dalam film dokumenter. Selain malu, berbagai risiko
juga siap mengadang mereka setelah filmnya diluncurkan.
Dalam posisi seperti itu, selain
mengandalkan insting dalam memilih narasumber, kejujuran adalah kunci bagi
Tonny meluruhkan sekat penghalang antara dirinya dan sang calon karakter.
“Sejak awal saya selalu bilang bahwa saya membuat film untuk advokasi. Film ini
menyangkut kepentingan anda dan banyak orang yang seperti anda,” kata Tonny.
Dengan pendekatan semacam itu,
Tonny berujar, Muhammad Zein Pundagau alias Renita yang semula bekerja di
salon, tempat hiburan, hingga menjadi PSK di Jakarta, kini sering diundang
menjadi narasumber di banyak acara pemutaran film dokumenternya yang berjudul
Renita, Renita (2006).
Biografi Tonny Trimarsanto
Lahir di Klaten, 21 Oktober 1970.
Tonny tumbuh dari keluarga yang menekuni seni, dari kakeknya yang menjadi
penabuh kendang dalam musik karawitan Jawa. Tonny mengawali karir sebagai
periset materi visual, penulis skenario, dan penata astistik film.
Tonny pernah meraih penghargaan
Best Art Director dari beberapa festival internasional untuk film Daun di Atas
Bantal (disutradarai Garin Nugroho). Pada 2000, Tonny mulai menyutradai filmnya
sendiri berjudul Gerabah Plastik. Film tersebut meraih Best Film di Tembi
Dokumenter Film Festival di Jogja (2002), Vision Tokyo International Film
Festival di Jepang (2003), dan pernah menjadi New Asian Current Spesial di
Yamagata International Film Festival Japan dengan film The Dream Land.
Film layar lebar pertamanya,
Serambi, diputar di Cannes International Film Festival France 2006, 25th Tokyo
International Film Festival Japan 2006, 24th Miami International
Film Festival 2007, dan San Fransisco International Film Festival 2007.
Selain menyutradarai film, Tonny
juga menjadi fasilitator workshop pembuatan film untuk stasiun televisi Metro
TV, SCTV dan Bali TV dan untuk sejumlah LSM. Tonny juga aktif menulis di media
cetak dan online. Dia juga menerbitkan dua buku Membuat Film Dokumenter –
Gampang Gampang Susah dan Renita, Renita – Catatan Proses Membuat Film
Dokumenter, dan menjadi editor buku Membaca Film Garin dan Televisi Publik
Indonesia. Hingga kini Tonny juga aktif mendorong pertumbuhan jaringan dan
penguatan apresiasi pada film-film dkumenter di Rumah Dokumenter.
0 komentar