google-site-verification: google81f2ee356101f507.html Delapan Tahun Mengasah Insting Bersama Garin - Buruh Nulis
Open top menu
Jumat, 11 Januari 2019

Tonny Trimarsanto


KLATEN – Ditemani segelas kopi arabika Toraja yang diseduh sendiri, di pendopo rumahnya yang basah oleh tempias hujan deras pada Selasa malam lalu, Tonny Trimarsanto menceritakan sekelumit perjalanan panjangnya berkecimpung di dunia film.

“Saya otodidak, tidak punya dasar pendidikan sinematografi. Kebetulan dulu sering nongkrong di TBS (Taman Budaya Jawa Tengah di Solo), nonton pemutaran film. Tiba-tiba Mas Garin butuh periset visual untuk film Bulan Tertusuk Ilalang pada 1992. Sejak itu saya membantu dia sampai tahun 2000,” kata lulusan ilmu politik Universitas Sebelas Maret Surakarta itu.

Delapan tahun bekerja sebagai periset materi visual dan penata artistik untuk sejumlah film besutan Garin Nugroho membuat Tonny Trimarsanto punya cukup bekal untuk mulai meniti karirnya sendiri sebagai sutradara film dokumenter.

“Karena passion saya di situ (dokumenter). Kerja di artistik sebetulnya menarik, jadi punya prespektif tentang ruang, cita rasa, visual, dan lain-lain. Tapi delapan tahun cukuplah, saya sudah tahu bagaimana kerjanya. Kalau di dokumenter kan lebih lengkap,” kata lelaki kelahiran 21 Oktober 1970 itu.

Selain terlatih membuat cerita dan mengemasnya menjadi kisah yang menarik, pengalaman kerja sebagai periset materi visual dalam produksi film fiksi juga mengasah insting Tonny dalam memilih calon narasumber yang akan menjadi tokoh dalam film dokumenternya.

Ketajaman insting Tonny dalam menyeleksi karakter semakin terasah setelah belasan tahun menekuni produksi film dokumenter. Seperti diketahui, ada sejumlah batasan etis yang lebih mengikat pembuat film dokumenter dibandingkan dengan film fiksi.

“Tidak ada honor untuk tokoh dalam film dokumenter. Tapi saya mengganti waktu produktif dia yang saya gunakan. Misalnya Renita bekerja di salon sejak pukul 08.00 - 16.00 dapat Rp 100.000. Karena waktu produktifnya saya comot untuk buat film, maka saya ganti sesuai pendapatannya,” kata suami dari Damayanti dan ayah untuk Prana, Latu, dan Tantra itu.

Menurut Tonny, besaran upah yang dia ganti selama proses produksi film dokumenternya bukanlah alasan bagi para karakternya untuk bersedia diangkat kisahnya. “Karena mereka terpanggil untuk menjadi sosok yang inspired, yang menginspirasi orang lain,” kata dia.

Tidak mudah membujuk kaum-kaum minoritas yang tersisih dan rentan mengalami diskriminasi seperti transgender untuk diangkat kisahnya ke dalam film dokumenter. Selain malu, berbagai risiko juga siap mengadang mereka setelah filmnya diluncurkan.

Dalam posisi seperti itu, selain mengandalkan insting dalam memilih narasumber, kejujuran adalah kunci bagi Tonny meluruhkan sekat penghalang antara dirinya dan sang calon karakter. “Sejak awal saya selalu bilang bahwa saya membuat film untuk advokasi. Film ini menyangkut kepentingan anda dan banyak orang yang seperti anda,” kata Tonny.

Dengan pendekatan semacam itu, Tonny berujar, Muhammad Zein Pundagau alias Renita yang semula bekerja di salon, tempat hiburan, hingga menjadi PSK di Jakarta, kini sering diundang menjadi narasumber di banyak acara pemutaran film dokumenternya yang berjudul Renita, Renita (2006).

Biografi Tonny Trimarsanto

Lahir di Klaten, 21 Oktober 1970. Tonny tumbuh dari keluarga yang menekuni seni, dari kakeknya yang menjadi penabuh kendang dalam musik karawitan Jawa. Tonny mengawali karir sebagai periset materi visual, penulis skenario, dan penata astistik film.

Tonny pernah meraih penghargaan Best Art Director dari beberapa festival internasional untuk film Daun di Atas Bantal (disutradarai Garin Nugroho). Pada 2000, Tonny mulai menyutradai filmnya sendiri berjudul Gerabah Plastik. Film tersebut meraih Best Film di Tembi Dokumenter Film Festival di Jogja (2002), Vision Tokyo International Film Festival di Jepang (2003), dan pernah menjadi New Asian Current Spesial di Yamagata International Film Festival Japan dengan film The Dream Land.

Film layar lebar pertamanya, Serambi, diputar di Cannes International Film Festival France 2006, 25th Tokyo International Film Festival Japan 2006, 24th Miami International Film Festival 2007, dan San Fransisco International Film Festival 2007.

Selain menyutradarai film, Tonny juga menjadi fasilitator workshop pembuatan film untuk stasiun televisi Metro TV, SCTV dan Bali TV dan untuk sejumlah LSM. Tonny juga aktif menulis di media cetak dan online. Dia juga menerbitkan dua buku Membuat Film Dokumenter – Gampang Gampang Susah dan Renita, Renita – Catatan Proses Membuat Film Dokumenter, dan menjadi editor buku Membaca Film Garin dan Televisi Publik Indonesia. Hingga kini Tonny juga aktif mendorong pertumbuhan jaringan dan penguatan apresiasi pada film-film dkumenter di Rumah Dokumenter.

Tagged
Different Themes
Written by Templateify

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar

Recent