Drama Pejuang Sinema
SOLO - Dirilis sejak 8 Juli 2017, film dokumenter Balada Bala Sinema masih laris di ruang-ruang pemutaran film alternatif. Kamis dua pekan lalu, 2 Mei 2019, film yang merekam perjuangan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga itu menjadi film utama pembuka Pesta Film Solo (PSF) #9 yang diselenggarakan Kine Klub FISIP UNS di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kota Surakarta.
"Alhamdulillah, di situ saya kadang merasa bernasib lebih baik daripada film-film Indonesia lainnya yang dibuat dengan budget miliaran tapi umurnya cuma seminggu di bioskop. Habis itu hilang entah kemana," tulis sutradara Balada Bala Sinema, Yuda Kurniawan, di akun instagramnya.
Selain di PSF #9, tahun ini Balada Bala Sinema juga telah menyambangi sejumlah bioskop alternatif seperti Jatiwangi Sinematek di Majalengka pada 3 Februari, Mini Sinema Sang Akar di Jakarta Selatan pada 23 Maret, dan jaringan mitra Indicinema Bandung (tersebar di sejumlah kota di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi) sejak Januari - April.
Sebelum bertualang ke berbagai bioskop alternatif, Balada Bala Sinema juga telah berkelana ke berbagai ajang film bergengsi di dalam maupun luar negeri, di antaranya Indonesia Film Festival 2017, Singapore International Film Festival 2017, Jogja NETPAC Asian Film Festival 2017, Indonesian On Screen di Berlin, Jerman, 2018, dan Asian Film Festival Barcelona 2018.
Nasib baik Balada Bala Sinema, yakni tetap eksis di dunia perfilman Indonesia meski umurnya sudah hampir dua tahun sejak diputar perdana di Purbalingga Film Festival 2017, tidak terlepas dari pergerakan komunitas-komunitas film di berbagai daerah.
Berkat kegigihan komunitas-komunitas film yang menolak tunduk pada kemapanan industri film yang menghamba pada selera pasar, terciptalah ruang-ruang pemutaran alternatif bagi Balada Bala Sinemadan film independen lain karya anak bangsa yang tidak tertampung di gedung-gedung bioskop komersial.
Sebagai wujud penghargaannya kepada komunitas-komunitas yang tak kenal lelah membangun budaya literasi film ke berbagai pelosok daerah, Yuda dan rekannya Damar Ardi bertekad membuat Balada Bala Sinema.
“Film ini saya dedikasikan kepada Bowo Leksono dan para Punggawa CLC Purbalingga yang tak kenal lelah mencetak sineas-sineas baru yang berprestasi,” kata Yuda, sineas kelahiran Ruteng, Manggarai, NTT yang meraih Piala Citra 2018 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik berkat karya terbarunya, Nyanyian Akar Rumput.
Balada Bala Sinema mengisahkan tentang CLC Purbalingga, komunitas pegiat film yang didirikan Bowo Leksono sejak 2006. Bowo Leksono adalah mantan jurnalis asal Purbalingga yang cukup produktif memproduksi film fiksi dan dokumenter.
Dalam film berdurasi 107 menit itu Yuda dan Damar merangkum betapa panjang dan terjalnya jalan yang ditempuh CLC dalam merintis dan membangun budaya literasi film di Purbalingga dan di kabupaten sekitarnya seperti Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap.
Selama lebih dari setahun, 2015 - 2016, Yuda mengikuti aktivitas keseharian Bowo dan CLC-nya. Mulai dari kegiatan CLC saat mendampingi para pelajar yang memproduksi film pendek hingga kesibukan saat menyelenggarakan Festival Film Purbalingga 2016. Dalam festival tahunan yang berlangsung sebulan penuh itu, CLC menggelar pemutaran film dengan layer tancap dari kampung ke kampung.
Sebagai film yang sejak awal didedikasikan untuk mengenalkan CLC Purbalingga ke khalayak ramai, Yuda sengaja menggunakan teknik pengambilan gambar yang sederhana. Layaknya video karya jurnalistik, film ini memberikan porsi wawancara yang cukup besar bagi Bowo dan kawan-kawan seperjuangannya untuk menceritakan berbagai hal yang mereka kerjakan tanpa dukungan dari pemerintah daerah.
Kendati demikian, Balada Bala Sinema bukanlah film yang membosankan. Berkat ketajaman insting Yuda yang terasah selama menekuni dunia dokumenter sejak kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (angkatan 2001), beragam momen penting yang berharga untuk membangun ketegangan dalam cerita tak pernah luput dari sorotan kameranya.
Pada menit-menit awal, penonton disuguhi konflik berupa larangan memutar film di Graha Adiguna, pendopo di komplek kantor Bupati Purbalingga, oleh Satpol PP. Dari peristiwa itulah lahirlah satu film dokumenter pendek (durasi 30 menit) karya Bowo Leksono yang berjudul Bioskop Kita Lagi Sedih.
Setelah konflik reda dan cerita mulai mengalir tenang seiring perjuangan CLC yang tetap konsisten memutar film-film karya pemuda lokal, penonton kembali dikejutkan oleh rangkaian adegan yang menegangkan pada menit-menit terakhir. Yakni, saat sejumlah aral merintangi rencana CLC memutar film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta karya Rahung Nasution pada 27 Mei 2016.
Dengan kamera yang ditenteng dalam kondisi merekam, Yuda mengikuti Bowo dan rekan-rekannya saat memenuhi undangan dari kepolisian dan militer setempat yang meminta keterangan hal ihwal film tersebut. “Sebenarnya saya sudah menyiapkan kamera tersembunyi, tapi risikonya besar. Kalau ketahuan justru bahaya,” kata Yuda membeberkan siasatnya agar tetap dapat mendokumentasikan momen-momen penting.
Puncak konfliknya terjadi saat lokasi pemutaran film itu, aula Hotel Kencana Purbalingga, digeruduk sekelompok orang yang mengusung nama Aliansi Pemuda Cinta Pancasila. Meski proses negosiasinya berlangsung alot dan tegang, seratusan penonton di Teater Arena TBJT malam itu tak jarang terpingkal karena jawaban-jawaban konyol dari pimpinan kelompok tersebut saat Bowo menanyakan alasan mereka melarang pemutaran film yang berlatar belakang tragedi 1965 itu.
“Setelah Balada Bala Sinema dirilis, pimpinan kelompok itu meneror saya dalam waktu cukup lama. Entah dari mana dia dapat nomor telepon saya. Dia bilang malu karena jadi bahan tertawaan. Padahal faktanya saat itu memang demikian,” kata Yuda sambil tertawa.
Damar mengaku tidak menyangka Balada Bala Sinema hingga kini masih diputar di bioskop-bioskop alternatif dan penontonnya selalu ramai. “Film ini juga bertujuan memberikan gambaran bahwa dukungan terhadap komunitas-komunitas film tidak cukup hanya sekadar menyukai unggahan mereka di media sosial. Tapi wujudkanlah dukungan itu dalam karya,” kata sineas yang bekerja di sejumlah organisasi dan festival film nasional bergengsi itu.
Yuda menambahkan, proses produksi Balada Bala Sinema sangat terbantu oleh tingginya kesadaran anggota CLC Purbalingga dalam membuat dokumentasi. Sebab, dalam kurun lebih dari setahun itu, Yuda musti mondar-mandir Purbalingga - Solo untuk mengerjakan Nyanyian Akar Rumput, film dokumenter tentang Fajar Merah (anak bungsu Wiji Thukul, penyair asal Kota Solo) dan band Merah Bercerita.
“Kalau sudah kehabisan ide di Purbalingga, saya ke Solo atau pulang dulu ke Jakarta,” kata Yuda. Untuk Balada Bala Sinema, dia berujar, total footage (video mentah) yang terkumpul mencapai empat terabyte, separuhnya sumbangan dari CLC Purbalingga.
DINDA LEO LISTY
Nb: Reportase ini dimuat di Koran Tempo edisi Selasa, 14 Mei 2019