google-site-verification: google81f2ee356101f507.html Buruh Nulis
Open top menu

Buruh Nulis

#htmlcaption1 GRAND CANYON BEKAS TAMBANG BATU GELIAT UMBUL PLUNENG KLATEN NYANYIAN AKAR RUMPUT MENOLAK LUPA
Selasa, 14 Mei 2019
Drama Pejuang Sinema



SOLO - Dirilis sejak 8 Juli 2017, film dokumenter Balada Bala Sinema masih laris di ruang-ruang pemutaran film alternatif. Kamis dua pekan lalu, 2 Mei 2019, film yang merekam perjuangan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga itu menjadi film utama pembuka Pesta Film Solo (PSF) #9 yang diselenggarakan Kine Klub FISIP UNS di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kota Surakarta.

"Alhamdulillah, di situ saya kadang merasa bernasib lebih baik daripada film-film Indonesia lainnya yang dibuat dengan budget miliaran tapi umurnya cuma seminggu di bioskop. Habis itu hilang entah kemana," tulis sutradara Balada Bala Sinema, Yuda Kurniawan, di akun instagramnya.

Selain di PSF #9, tahun ini Balada Bala Sinema juga telah menyambangi sejumlah bioskop alternatif seperti Jatiwangi Sinematek di Majalengka pada 3 Februari, Mini Sinema Sang Akar di Jakarta Selatan pada 23 Maret, dan jaringan mitra Indicinema Bandung (tersebar di sejumlah kota di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi) sejak Januari - April.

Sebelum bertualang ke berbagai bioskop alternatif, Balada Bala Sinema juga telah berkelana ke berbagai ajang film bergengsi di dalam maupun luar negeri, di antaranya Indonesia Film Festival 2017, Singapore International Film Festival 2017, Jogja NETPAC Asian Film Festival 2017, Indonesian On Screen di Berlin, Jerman, 2018, dan Asian Film Festival Barcelona 2018.

Nasib baik Balada Bala Sinema, yakni tetap eksis di dunia perfilman Indonesia meski umurnya sudah hampir dua tahun sejak diputar perdana di Purbalingga Film Festival 2017, tidak terlepas dari pergerakan komunitas-komunitas film di berbagai daerah.

Berkat kegigihan komunitas-komunitas film yang menolak tunduk pada kemapanan industri film yang menghamba pada selera pasar, terciptalah ruang-ruang pemutaran alternatif bagi Balada Bala Sinemadan film independen lain karya anak bangsa yang tidak tertampung di gedung-gedung bioskop komersial.

Sebagai wujud penghargaannya kepada komunitas-komunitas yang tak kenal lelah membangun budaya literasi film ke berbagai pelosok daerah, Yuda dan rekannya Damar Ardi bertekad membuat Balada Bala Sinema.

“Film ini saya dedikasikan kepada Bowo Leksono dan para Punggawa CLC Purbalingga yang tak kenal lelah mencetak sineas-sineas baru yang berprestasi,” kata Yuda, sineas kelahiran Ruteng, Manggarai, NTT yang meraih Piala Citra 2018 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik berkat karya terbarunya, Nyanyian Akar Rumput.


Balada Bala Sinema mengisahkan tentang CLC Purbalingga, komunitas pegiat film yang didirikan Bowo Leksono sejak 2006. Bowo Leksono adalah mantan jurnalis asal Purbalingga yang cukup produktif memproduksi film fiksi dan dokumenter.

Dalam film berdurasi 107 menit itu Yuda dan Damar merangkum betapa panjang dan terjalnya jalan yang ditempuh CLC dalam merintis dan membangun budaya literasi film di Purbalingga dan di kabupaten sekitarnya seperti Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap.

Selama lebih dari setahun, 2015 - 2016, Yuda mengikuti aktivitas keseharian Bowo dan CLC-nya. Mulai dari kegiatan CLC saat mendampingi para pelajar yang memproduksi film pendek hingga kesibukan saat menyelenggarakan Festival Film Purbalingga 2016. Dalam festival tahunan yang berlangsung sebulan penuh itu, CLC menggelar pemutaran film dengan layer tancap dari kampung ke kampung.


Sebagai film yang sejak awal didedikasikan untuk mengenalkan CLC Purbalingga ke khalayak ramai, Yuda sengaja menggunakan teknik pengambilan gambar yang sederhana. Layaknya video karya jurnalistik, film ini memberikan porsi wawancara yang cukup besar bagi Bowo dan kawan-kawan seperjuangannya untuk menceritakan berbagai hal yang mereka kerjakan tanpa dukungan dari pemerintah daerah.

Kendati demikian, Balada Bala Sinema bukanlah film yang membosankan. Berkat ketajaman insting Yuda yang terasah selama menekuni dunia dokumenter sejak kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (angkatan 2001), beragam momen penting yang berharga untuk membangun ketegangan dalam cerita tak pernah luput dari sorotan kameranya.

Pada menit-menit awal, penonton disuguhi konflik berupa larangan memutar film di Graha Adiguna, pendopo di komplek kantor Bupati Purbalingga, oleh Satpol PP. Dari peristiwa itulah lahirlah satu film dokumenter pendek (durasi 30 menit) karya Bowo Leksono yang berjudul Bioskop Kita Lagi Sedih.

Setelah konflik reda dan cerita mulai mengalir tenang seiring perjuangan CLC yang tetap konsisten memutar film-film karya pemuda lokal, penonton kembali dikejutkan oleh rangkaian adegan yang menegangkan pada menit-menit terakhir. Yakni, saat sejumlah aral merintangi rencana CLC memutar film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta karya Rahung Nasution pada 27 Mei 2016.  

Dengan kamera yang ditenteng dalam kondisi merekam, Yuda mengikuti Bowo dan rekan-rekannya saat memenuhi undangan dari kepolisian dan militer setempat yang meminta keterangan hal ihwal film tersebut. “Sebenarnya saya sudah menyiapkan kamera tersembunyi, tapi risikonya besar. Kalau ketahuan justru bahaya,” kata Yuda membeberkan siasatnya agar tetap dapat mendokumentasikan momen-momen penting.

Puncak konfliknya terjadi saat lokasi pemutaran film itu, aula Hotel Kencana Purbalingga, digeruduk sekelompok orang yang mengusung nama Aliansi Pemuda Cinta Pancasila. Meski proses negosiasinya berlangsung alot dan tegang, seratusan penonton di Teater Arena TBJT malam itu tak jarang terpingkal karena jawaban-jawaban konyol dari pimpinan kelompok tersebut saat Bowo menanyakan alasan mereka melarang pemutaran film yang berlatar belakang tragedi 1965 itu.


“Setelah Balada Bala Sinema dirilis, pimpinan kelompok itu meneror saya dalam waktu cukup lama. Entah dari mana dia dapat nomor telepon saya. Dia bilang malu karena jadi bahan tertawaan. Padahal faktanya saat itu memang demikian,” kata Yuda sambil tertawa.

Damar mengaku tidak menyangka Balada Bala Sinema hingga kini masih diputar di bioskop-bioskop alternatif dan penontonnya selalu ramai. “Film ini juga bertujuan memberikan gambaran bahwa dukungan terhadap komunitas-komunitas film tidak cukup hanya sekadar menyukai unggahan mereka di media sosial. Tapi wujudkanlah dukungan itu dalam karya,” kata sineas yang bekerja di sejumlah organisasi dan festival film nasional bergengsi itu.

Yuda menambahkan, proses produksi Balada Bala Sinema sangat terbantu oleh tingginya kesadaran anggota CLC Purbalingga dalam membuat dokumentasi. Sebab, dalam kurun lebih dari setahun itu, Yuda musti mondar-mandir Purbalingga - Solo untuk mengerjakan Nyanyian Akar Rumput, film dokumenter tentang Fajar Merah (anak bungsu Wiji Thukul, penyair asal Kota Solo) dan band Merah Bercerita.

“Kalau sudah kehabisan ide di Purbalingga, saya ke Solo atau pulang dulu ke Jakarta,” kata Yuda. Untuk Balada Bala Sinema, dia berujar, total footage (video mentah) yang terkumpul mencapai empat terabyte, separuhnya sumbangan dari CLC Purbalingga.

DINDA LEO LISTY


Nb: Reportase ini dimuat di Koran Tempo edisi Selasa, 14 Mei 2019


Read more
Selasa, 07 Mei 2019
White Stone, Hari Ghulur, dan "Kerasnya" Madura


Dengan teknik Gaga, Hari Ghulur menciptakan tari White Stone. Memadukan ekspresi emosional pesilat dan penari, mendekonstruksi stigma “kerasnya” orang Madura.

Suara bising mirip deru mesin pemotong batu memecah keheningan Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kota Surakarta, yang gelap gulita pada Ahad malam, 28 April 2019. Setelah beberapa menit mengusik telinga sekitar 60 penonton, suara tak berirama itu berhenti, bersamaan dengan nyala lampu yang mengguyurkan cahaya kuning pucat ke tubuh enam penari yang berdiri tegap mematung.

Dalam senyap, dua penari lelaki dan empat penari perempuan berkostum serba hitam itu kemudian berjalan pelan ke tengah arena membentuk formasi saling bertumpuk dalam posisi tengkurap. Setelah penari di posisi paling bawah berupaya membebaskan diri, formasi itu pun terberai, mereka jatuh berguling.

Sejak itu kegaduhan kembali tercipta. Namun, bukan karena musik pengiring seperti pada pembukanya. Melainkan oleh dengus napas dan hentakan kaki para penarinya yang bergerak acak, saling memeragakan bermacam jurus silat yang telah terdistorsi oleh metode impresif dan emosional ajaran sang koreografernya, Hari Ghulur.

Tidak hanya gaya menyerang dan bertahan, enam penari muda itu juga menampilkan berbagai gerak bebas sekuat tenaga yang sekilas tampak spontan dan diulang-ulang dalam tempo yang cepat. Uniknya, selama sekitar 40 menit pertunjukan berlangsung, karya yang menguras keringat itu sama sekali tanpa musik pengiring kecuali suara bising mirip mesin pemotong batu pada pembuka dan penutupnya. Tata lampunya juga sederhana, seolah hanya untuk menerangi panggung saja.

“Karena tanpa musik dan teknik pencahayaan panggungnya sederhana, perhatian penonton jadi terfokus pada interaksi, suasana, konflik, alur, dan rangkaian gerak individu penarinya. Ketubuhan dan skill penarinya bagus dan presisi, itu yang menarik,” kata Melati Suryodarmo mengomentari White Stone, pertunjukan laboratorium tari karya Hari Ghulur, seniman tari asal Madura yang berdomisili di Surabaya dan mendirikan Sawung Dance Studio sejak 2012.

White Stone menjadi karya penanda dimulainya On Stage edisi perdana, program dua bulanan yang digagas Melati dan Platform Studio Plesungan yang bermarkas di Desa Plesungan, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. On Stage bertujuan merajut jaringan koreografer independen dan seniman pertunjukan lain. “Sudah menjadi kebutuhan kita untuk bertemu, bertukar pikiran, pengalaman, wacana, dan saling kritik demi memperbaiki proses kerja,” kata Melati, direktur Studio Plesungan yang seniman performance art yang karya-karyanya banyak dipentaskan di berbagai negara.


*

Pada Juli 2018, Hari yang berprofesi sebagai dosen di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dan di program studi tari Universitas Negeri Malang itu mengikuti International Choreography Residency (ICR) American Dance Festival di Durham, North Carolina, Amerika Serikat.

Selama dua bulan residensi atau mondok di ICR, alumnus jurusan Sendratasik Universitas Negeri Surabaya itu mendapatkan banyak ilmu seputar metode penciptaan karya sekaligus proses kreatifnya. Sejak itu, lulusan program magister Penciptaan Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu tertantang untuk mengaplikasikan metode-metode tersebut dengan membuat karya yang menggandeng penari.

“Saya ingin menjajaki hal baru, bagaimana mentransfer ide, gagasan, dan pengalaman saya kepada penari. Sepulang dari Amerika, Agustus 2018, saya mulai menggarap White Stone,” kata seniman yang terbiasa membuat koreografi dan menarikannya sendiri itu. Salah satu karya solonya yang cukup dikenal adalah Tari Ghulur. 

Tari Ghulur adalah karya yang terinspirasi dari kesenian Topeng Ghulur di Desa Larangan Barma, Sumenep, Madura. Dalam tradisi Madura, Ghulur bisa dimaknai "bergulung-gulung", sebuah dialog antara tubuh dan tanah demi kesuburan. Tari Ghulur pernah dipentaskan di Indonesian Dance Festival 2014, Choreo Lab Dewan Kesenian Jakarta 2015, M1Contact Southeast Asian Choreographer Singapore 2016, Festival Europalia 2017 di Belgia dan Festival Salihara di Jakarta pada 2017.

Berbekal pengalaman dan wacana seputar perkembangan dunia tari dari ICR, Hari pun bereksperimen menggali ekspresi-ekspresi tubuh baru dari gerakan pencak silat Pamor asli Pamekasan, Madura. “Karena saya lahir dan besar di Madura. Dengan banyaknya pengalaman selama berproses kreatif di Madura, otomatis tubuh saya merespon berbagai isu dari luar dengan spirit-spirit dari Madura,” kata Hari yang sejak kecil telah mempelajari belasan jurus pencak silat Pamor.


Awalnya, Hari sempat kesulitan mewujudkan gagasannya membuat karya menggunakan ekspresi-ekspresi tubuh yang baru berbasis gerakan silat Pamor. Sebab, tubuh keenam penarinya sudah “tercetak” dengan tradisi masing-masing. Meski sama-sama berstatus mahasiswa jurusan seni tari, enam penari itu memiliki latar belakang berbeda-beda, mulai dari cheerleaderbreakdancer, dan ada satu atlet pencak silat unggulan Jawa Timur asli Madura, yaitu M. Rusdi, 24 tahun.

“Mereka sudah terbiasa menggunakan gerak tubuhnya untuk menari, bukan untuk berekspresi. Maka itu saya hancurkan dulu tradisi tubuh mereka, dinetralkan dulu dengan teknik Gaga,” kata Hari. Gaga adalah salah satu teknik baru untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran diri seseorang melalui tubuh. Dengan latihan teknik Gaga secara rutin dan intens, penari dapat mengubah kebiasaan geraknya dan menjelajah gerakan baru yang multi-dimensi, melampaui batas yang biasa dia kenal.

Setelah berlatih teknik Gaga selama beberapa bulan, para penari itu baru dikenalkan pada beberapa jurus pencak silat Pamor. Namun, Hari mengatakan, jurus silat itu hanya sebagai media untuk menciptakan ekspresi-ekspresi gerakan baru yang lahir dari sisi emosional dan impresif tiap penari.

“Jadi ada penari yang belajar silat dan ada pesilat yang belajar menari. Transisi-transisi gerakan tubuh dari penari dan pesilat itulah yang dieksplorasi dan ditampilkan dalam White Stone,” kata Hari. Meski sebagian jurus silat itu masih tampak kental, Hari berujar, gerakannya sudah terdistorsi oleh kekayaan gerak para penarinya ditambah arahan dari dirinya selaku koreografer.

Ihwal pemilihan judul White Stone yang diartikan sebagai batu kapur, Hari berujar, inspirasinya berawal dari kondisi geografis Pulau Madura yang gersang dan tandus karena terdiri dari perbukitan kapur. Bagi Hari, batu kapur juga sebagai simbol dari stigma yang terlanjur melekat pada orang Madura yaitu berperangai keras.

“Padahal karakter keras tidaknya seseorang tidak bisa ditentukan hanya dari mana dia berasal,” ujar Hari. Sebagai salah satu orang Madura yang merantau, Hari memaknai sifat keras itu dari sisi positif. “Kerasnya orang Madura itu dalam etos kerja, dalam meraih prestasi. Seperti batu kapur, keras tapi mudah dibentuk, ditata menjadi dinding-dinding rumah di Madura,” kata Hari.


Meski berangkat dari nilai filosofis batu kapur dan kehidupan orang Madura, Hari tidak berniat menjadikan White Stone sebagai karya yang mengusung hal ihwal Madura. Maka itu, dia sengaja tidak membuat narasi atau menyusun koreografinya berdasarkan bangunan cerita. “Biar narasi itu tercipta dengan sendirinya lewat eksplorasi gerak tubuh para penari. White Stone tidak lagi bicara soal bentuk, tapi lebih pada penekanan emosional dan impresifnya,” kata Hari.

Selain memuji rangkaian gerak individu penarinya dalam membangun interaksi, suasana, dan konflik dalam pertunjukan karya White Stone, Melati Suryodarmo juga menyisipkan satu kritik yang membangun. “Setelah tampil di On Stage dan mendapat banyak masukan dari jejaring koreografer independen, semoga bisa menjadi bahan refleksi bagi Hari Ghulur untuk membenahi dramaturginya,” kata Melati.

Menurut Melati, membangun sebuah koreografi tidak hanya bertumpu dari rangkaian gerak. “Perlu strategi agar pemikiran sang koreografer dan penggunaan gerak tubuh dalam karya tarinya bisa klop. Dramaturgi itu tidak sesederhana membangun suasana saja, tapi juga bagaimana esensi dari karya itu bisa tersampaikan. Musti ada alasan dibalik rangkaian geraknya, pilihan musiknya, lighting, dan lain-lain,” kata Melati.

DINDA LEO LISTY


Nb: Artikel versi pendek dimuat di Majalah Tempo edisi 6 - 12 Mei 20019. 


Read more
Sabtu, 30 Maret 2019
Rabu, 20 Maret 2019
Jumat, 01 Maret 2019
Tim Advokasi Difabel Surakarta: Nothing About Us Without Us



Tim Advokasi Difabel (TAD) Kota Surakarta meminta seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) melibatkan difabel dalam proses pembuatan berbagai kebijakan. Sebab, tanggung jawab untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi difabel demi kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi bukan hanya di tangan Dinas Sosial. 

"Istilahnya, nothing about us without us. Impossible kalau membuat kebijakan tentang difabel tanpa melibatkan difabel itu sendiri," kata Koordinator Bidang Pengembangan SDM Tim Advokasi Difabel (TAD) Kota Surakarta, Ahmad Halim Yulianto, dalam lokakarya bertema Kebijakan yang Responsif Dalam Pemenuhan Kebutuhan Difabel di Hotel Sarila, Kota Surakarta, pada Rabu, 20 Februari 2019.

Dalam lokakarya yang dihadiri perwakilan dari sejumlah OPD di Pemerintah Kota Surakarta itu, Yulianto mengatakan difabel memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara Indonesia. Menurut dia, difabel tidak hanya menuntut hak, tapi juga ingin menunaikan kewajiban asalkan aksesibilitasnya mudah dijangkau. "Pemerintah harus hadir dalam pemenuhan kebutuhan difabel di segala sektor pembangunan. Ini bukan permasalahan Dinsos saja, tapi semua OPD," kata difabel netra sejak lulus SMA itu.

Beberapa tahun lalu, Yulianto mengatakan, difabel daksa yang menggunakan kursi roda terpaksa merangkak di anak tangga kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta demi memenuhi kewajiban melaporkan berbagai peristiwa kependudukan. "Alhamdulillah, sekarang sudah ada perubahan. Kantor pelayanannya dipindah di bawah," kata ayah dua anak itu.

Yulianto menambahkan, kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Surakarta juga sudah terbilang ramah bagi difabel. Kantor PMI telah menyediakan ramp atau tanjakan untuk kursi roda maupun jalur khusus bagi difabel netra. "Untuk mendonorkan darah, saya musti naik tangga. Bagi difabel netra tidak masalah, tapi buat difabel daksa itu sulit. Semoga ke depannya bisa disediakan lift," kata Yulianto.

Yulianto juga menyoroti Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan Daerah (BKPPD) Kota Surakarta ihwal minimnya formasi CPNS bagi difabel. "Lowongan CPNS di Kota Surakarta hanya untuk difabel tertentu seperti daksa. Formasi CPNS untuk difabel netra belum ada. Kalau di DKI Jakarta sudah lengkap untuk berbagai difabel," kata Yulianto. Istri Yulianto yang juga difabel netra, Agatha Febriani, tahun lalu lolos tes CPNS untuk formasi di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta.

TAD Kota Surakarta dibentuk sejak 2010 dengan sekretariat di Dinas Sosial Kota Surakarta. Wakil Ketua Pelaksana Harian TAD Kota Surakarta, Sri Sudarti, mengatakan TAD bertujuan menggugah kesadaran seluruh OPD ihwal kebijakan yang memihak difabel. "Sudah ada beberapa OPD, instansi, lembaga, yang sudah rutin bekerjasama dengan TAD dalam upaya pemenuhan hak-hak difabel," kata Sudarti yang akrab disapa Darti, difabel daksa yang berjalan menggunakan dua tongkat kruk.

Dalam sesi diskusi, beberapa perwakilan dari OPD hingga instansi vertikal memaparkan kemajuan yang telah dicapai guna memenuhi hak difabel. Salah satunya dari Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI) Surakarta. "Di kelas kejuruan bordir, banyak permintaan dari rekan-rekan difabel. Semuanya gratis, dibiayai negara. Tahun ini kami punya tambahan kelas bisnis manajemen dan teknologi informasi (IT)," kata perwakilan dari BBLKI, Fransiska.

Namun, ada pula OPD yang mengaku masih mencari format yang tepat dalam membuat kebijakan atau program yang berkaitan dengan difabel. "Kami sudah berusaha memenuhi hak-hak anak difabel, seperti ruang bermain ramah anak dan lain-lain. Benar ada anggaran, tapi kami masih meraba-raba. Ternyata di TAD ada program yang menarik seperti Forum Buah Hati Berseri (advokasi bagi para orang tua dari anak difabel). Kami mohon dilibatkan dalam kegiatan yang berkaitan dengan anak-anak difabel," kata perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Surakarta, Indriyani.
Read more
Kamis, 28 Februari 2019
Lapse, Cara Melati Suryodarmo Merespon Chaotic


Tiga penari muda, dua laki-laki dan satu perempuan, menggerakkan tubuh dengan amat pelan di ruang latihan Studio Plesungan. Dalam formasi yang semula melingkar, mereka berjalan mengendap-endap, kepala mendongak, mata nyalang, dan sesekali menepukkan tangan layaknya orang sedang memburu nyamuk atau lalat.
Dengan aba-aba dari sang koreografer, Melati Suryodarmo, mereka kemudian bergerak tak beraturan dengan tempo cepat: berlari, melompat, meliuk, dan berguling. Seperti tidak ada jalan cerita yang jelas dalam proses latihan karya performance art berjudul Lapse itu.
Lapse adalah salah satu karya terbaru Melati, seniman performance art yang karya-karyanya telah ditampilkan di berbagai belahan dunia. Lapse akan ditampilkan perdana di Asia In Dance di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kota Surakarta, pada Jumat - Ahad, 1 - 3 Maret.
Lapse itu semacam kesalahan kecil, sesuatu yang ganjil dan tidak terduga di selang kehidupan normal. Dalam beberapa hal kita sering menemukan kok ada yang keliru, terasa mengganjal.  Dalam karya yang sebenarnya masih work on progress ini, saya mencari keganjilan-keganjilan itu,” kata Melati Suryodarmo seusai latihan di Studio Plesungan, studio yang dia dirikan sejak 2012 di Desa Plesungan RT 3 RW 2, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar.
*
Lapse lahir dari hasil pengamatan Melati terhadap kondisi kehidupan bangsa Indonesia. “Lapse itu semacam kesalahan yang karena sudah terbiasa kemudian dianggap normal. Di masyarakat kita banyak hal yang salah tapi jadi seperti benar,” kata seniman yang sudah 20 tahun menetap di Jerman itu.
Menurut Melati, lapse sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, mulai dari hal kecil seperti cara menyeberang di jalan raya sampai cara kampanye politik yang ngawur. “Lihat saja, akhir-akhir ini hoax jadi hal yang lumrah. Lapse ini sumber dari chaotic, ketidakberaturan. Dan, chaotic secara alamiah memiliki sistem sendiri yang baru. Masyarakat musti punya keahlian untuk bertahan di kehidupan yang chaos. Jadinya kembali lagi pada lapse,” kata Melati sambil tertawa.
Dalam merespon lapse dan chaotic tersebut, Melati tidak menyuguhkan koreografi yang runtut seperti karya tari pada umumnya. “Justru sebaliknya, koreografi lapse ini tidak logis. Adegannya patah-patah, tidak nyambung. Seniman tari pasti paham kenapa saya buat seperti itu,” kata Melati.
*
Selain Lapse, ada sejumlah karya performace art dari beberapa koreografer dan penari lain dari Jepang, India, Taiwan, Malaysia, dan beberapa kota di Indonesia yang akan ditampilkan di Asia In Dance di Teater Arena TBJT, Kota Surakarta. Sebagai pertunjukan bertaraf internasional, Asia In Dance yang digelar selama tiga malam tiap pukul 19.00 - 21.30 itu gratis.
Asia In Dance bisa dibilang sebagai ruang yang disediakan oleh suatu gerakan yang berupaya membangun jaringan trans-nasional antarseniman independen di Asia. Gerakan untuk menumbuhkan pemahaman serta toleransi antarseniman dari berbagai latar budaya itu pertama kali diinisiasi oleh dua praktisi sekaligus akademisi performance art perempuan, Prof. Yao Shu Fen dan Dr. Mikuni Yanaihara.
Prof. Yao Shu Fen adalah koreografer dari Taiwan sekaligus pengajar di National Taiwan University of Arts, Taipei. Adapun Dr. Mikuni Yanaihara adalah koreografer dari Jepang yang juga mengajar di Faculty of Performing Arts, Kinday University, Osaka.
“Di Kota Solo ini Asia In Dance yang ketujuh. Yang pertama, awalnya mereka (Yao Shu Fen dan Mikuni) saling bertukar koreografer muda dan penari, bikin karya, lalu dipentaskan di kedua negara. Setelah itu mereka bertemu dengan Jyh Shyong Wong, Mfa. (koreografer dari Malaysia dan pengajar di Dance Department of Cultural Centre, University of Malaya, Kuala Lumpur), kemudian saya (koreografer Indonesia, Direktur Studio Plesungan),” kata Melati.
Misi Asia In Dance itu juga diwujudkan dalam wadah Dance Laboratory Project (D_LAP), sebuah proyek penelitian dan pengembangan yang mengeksplorasi pemahaman antar budaya, persepsi filosofis, pendekatan teknis dan metodis dalam koreografi, tari, dan seni pertunjukan melalui diskusi kritis dan pertukaran praktik.
Lapse yang akan ditampilkan di Asia In Dance merupakan hasil dari kolaborasi silang antar empat koreografer fasilitator tersebut. “Lapse ini pakai lima penari. Tiga penari dari Indonesia dan dua penarinya Yao Shu Fen (Taiwan). Musiknya dari komposer Jepang,” kata Melati.
Read more
Rabu, 27 Februari 2019
Ketika Penari Tak Sekadar Pentas



Menonton festival tari bertaraf internasional yang mendatangkan koreografer dan penari mancanegara itu sudah biasa. Di Kota Surakarta saja tiap tahun diselenggarakan Solo International Performing Arts (SIPA) yang rutin mengundang kontingen seniman pertunjukan dari berbagai belahan dunia sejak 2009.
Tapi pernahkah anda menyaksikan langsung proses kreatif para koreografer dan penari tingkat dunia itu saat berada di balik layar? Kesempatan langka itu ditawarkan oleh Dance Laboratory Project #3 yang bertempat di Studio Plesungan sejak Senin sampai Kamis, 25 - 28 Februari 2019. Studio Plesungan berada di  Desa Plesungan RT 3 RW 2, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar.
Sejak Senin lalu, di studio yang didirikan pada 2012 oleh Melati Suryodarmo; seniman performance art yang karya-karyanya telah ditampilkan di berbagai negara, itu berkumpul sebanyak 36 seniman dari berbagai negara di Asia seperti Jepang, Taiwan, India, Malaysia, dan dari beberapa kota di Indonesia. “Di sini ada sepuluh koreografer independen, empat fasilitator termasuk saya, videografer, sejumlah penari profesional dan mahasiswa,” kata Melati saat ditemui pada Rabu, 27 Februari.
Di studio yang asri dengan nuansa alami dan tidak terusik oleh bisingnya kota itu, para pelaku seni performance art tersebut mengikuti Dance Laboratory Project (D_LAP) #3 selama empat hari. Dikutip dari studioplesungan.org, D_LAP adalah proyek penelitian dan pengembangan yang mengeksplorasi pemahaman antar budaya, persepsi filosofis, pendekatan teknis dan metodis dalam koreografi, tari, dan seni pertunjukan melalui diskusi kritis dan pertukaran praktik.
“Kalau festival kan mereka cuma datang, latihan, pentas, lalu pulang. Sayang banget kan, sudah datengin mereka jauh-jauh,” kata Melati. Selain menggelar diskusi panel dengan beragam tema dari lingkup seni hingga budaya secara global, di D_LAP, keempat fasilitator koreografer itu juga menyiapkan karya dengan konsep kolaborasi silang untuk ditampilkan dalam pagelaran Dance In Asia di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kota Surakarta, pada 1 - 3 Maret 2019.
Empat fasilitator itu adalah Dr. Mikuni Yanaihara dari Faculty of Performing Arts, Kinday University, Osaka, Jepang; Prof. Yao Shu Fen dari National Taiwan University of Arts, Taipei, Taiwan; Jyh Shyong Wong, Mfa. dari Dance Department of Cultural Centre, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, dan Melati selaku Direktur Studio Plesungan.
“Kami berempat mencoba cross collaboration, koreografer satu pakai penari dari koreografer lain. Seperti Mikuni pakai penari Solo, Yao Shu Fen pakai Otniel Tasman (koreografer muda dari Banyumas), aku pakai dua penarinya Yao Shu Fen, Jyh Shyong Wong pakai Keisuke Takahashi, videografer dari Jepang,” kata Melati.
Selain karya-karya kolaborasi tersebut, Dance In Asia yang diselenggarakan secara gratis di TBJT selama tiga hari, tiap pukul 19.00 - 21.30, itu juga akan menyuguhkan karya para koreografer independen seperti Agus Margiyanto dari Solo, Emi Oyama dari Jepang, Rathimalar Gobindarajoo dari India, dan lain-lain.  
Sayangnya, D_LAP #3 yang membuka lebar peluang untuk memperluas jejaring di kancah internasional ini tidak dimanfaatkan oleh sebagian besar pelaku seni performance art lokal di Solo Raya. “Sebenarnya saya juga sudah mengundang temen-temen seniman di Solo Raya dan sekitarnya,” kata Melati.
Menurut salah satu tamu undangan yang menghadiri diskusi panel bertema what we share is what we get, Nuri Aryati, D_LAP yang kali ini diselenggarakan di Indonesia, khususnya di Solo Raya, merupakan kegiatan yang sangat berharga. “Banyak ilmu yang bisa kita dapat. Selain diskusinya bermutu, kita bisa saling bertukar informasi dan menjalin kerja sama dengan para seniman dari negara tetangga,” kata program director Studio Mugi Dance, Pucangan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, itu.
Read more

Recent