poster film Renita,Renita. sumber foto: rumahdokumenter.com |
KLATEN – Perkenalannya dengan
Muhammad Zein Pundagau alias Renita saat membuat film dokumenter Renita, Renita
(2007) menjadi gerbang bagi Tonny Trimarsanto, 47 tahun, untuk lebih dalam
menyelami kehidupan kaum transgender.
“Saya selalu senang dengan
teman-teman (transgender) yang dunianya tidak pernah tersentuh. Tapi kalau
nonton di televisi, mereka selalu dicitrakan sebagai sosok yang suka berdandan
menor, pekerjaannya kotor, jadi PSK, dan lain-lain,” kata sineas kelahiran 21
Oktober 1970 itu.
Renita, Renita adalah film
dokumenter yang mengisahkan tentang seorang transgender dari Desa Pulu,
Donggala. Keluarga besarnya menolak dia menjadi waria. Renita pun akhirnya
merantau ke Palu, Balikpapan, Jakarta, bahkan pernah sampai ke Singapura. Di sepanjang
pelariannya, Renita bekerja di salon, tempat hiburan malam, sampai menjadi PSK
di hotel-hotel di Jakarta.
Film yang terlahir berkat tawaran
dari Komnas HAM untuk mengangkat isu seputar kaum minoritas itu terpilih
sebagai pemenang Best Short Asia Film di Cinemanila International Film Festival
2007 di Filipina dan Best Film di Culture Unplugged International Film Festival
2010 di India. Renita, Renita juga masuk dalam kategori kompetisi berbagai
festival film dunia dan diputar untuk tujuan edukasi oleh sejumlah lembaga di
dalam dan luar negeri.
“Ketika filmnya menang di banyak
festival, uangnya saya kembalikan ke Renita. Dia bilang mau pulang ke kampung
karena sudah 25 tahun tidak pernah bertemu orang tuanya,” kata Tonny yang
mengawali karirnya sebagai periset visual untuk sejumlah film besutan Garin
Nugroho, seperti Bulan Tertusuk Ilalang, Puisi Tak Terkuburkan, dan Daun di
Atas Bantal.
Kepulangan Renita yang tak
terduga oleh keluarga besarnya, karena putus kontak sejak Renita kabur dari
rumah, menimbulkan kejutan-kejutan yang tak pernah diprediksi. Tonny yang
mengantar Renita dari Jakarta merekam semua kekacauan itu dan jadilah satu film
dokumenter lagi yang berjudul Mangga Golek Matang di Atas Pohon (2012).
Menurut Tonny, Renita dan
sebagian transgender lain terjerumus ke dunia hitam akibat ruang gerak mereka
dibatasi oleh sempitnya cara pandang masyarakat yang terpengaruh framing media. Sejak kecil para
transgender sudah mengalami perisakan yang luar biasa sehingga terpaksa putus
sekolah.
“Otomatis mereka hanya dapat
mengakses pekerjaan yang tidak membutuhkan skill
banyak. Kita yang menjadikan mereka seperti itu. Apa ada transgender yang jadi
tentara,” kata Tonny yang kini sedang mengerjakan dua film dokumenter Nur
(tentang pesantren waria di Jogja) dan Bissu (tentang pemuka agama transgender
di Bone) yang ditargetkan selesai pada 2018.
Dengan membuat film dokumenter
tentang transgender, Tonny berharap masyarakat memiliki sudut pandang yang lain
dalam menilai kehidupan mereka yang selama ini termarjinalkan. “Saya ingin
menunjukkan bahwa dunia mereka tidak sesederhana anggapan kita. Persoalan
mereka sangat komplek, punya pengalaman yang keras dan pahit. Kehidupan mereka
yang tidak pernah tersentuh dan orang tidak pernah melihat itu,” kata dosen
tamu sinematografi di sejumlah universitas ternama itu.
0 komentar