google-site-verification: google81f2ee356101f507.html Menggugat Framing Media Lewat Film Dokumenter - Buruh Nulis
Open top menu
Jumat, 11 Januari 2019

poster film Renita,Renita. sumber foto: rumahdokumenter.com


KLATEN – Perkenalannya dengan Muhammad Zein Pundagau alias Renita saat membuat film dokumenter Renita, Renita (2007) menjadi gerbang bagi Tonny Trimarsanto, 47 tahun, untuk lebih dalam menyelami kehidupan kaum transgender.

“Saya selalu senang dengan teman-teman (transgender) yang dunianya tidak pernah tersentuh. Tapi kalau nonton di televisi, mereka selalu dicitrakan sebagai sosok yang suka berdandan menor, pekerjaannya kotor, jadi PSK, dan lain-lain,” kata sineas kelahiran 21 Oktober 1970 itu.

Renita, Renita adalah film dokumenter yang mengisahkan tentang seorang transgender dari Desa Pulu, Donggala. Keluarga besarnya menolak dia menjadi waria. Renita pun akhirnya merantau ke Palu, Balikpapan, Jakarta, bahkan pernah sampai ke Singapura. Di sepanjang pelariannya, Renita bekerja di salon, tempat hiburan malam, sampai menjadi PSK di hotel-hotel di Jakarta.

Film yang terlahir berkat tawaran dari Komnas HAM untuk mengangkat isu seputar kaum minoritas itu terpilih sebagai pemenang Best Short Asia Film di Cinemanila International Film Festival 2007 di Filipina dan Best Film di Culture Unplugged International Film Festival 2010 di India. Renita, Renita juga masuk dalam kategori kompetisi berbagai festival film dunia dan diputar untuk tujuan edukasi oleh sejumlah lembaga di dalam dan luar negeri.

“Ketika filmnya menang di banyak festival, uangnya saya kembalikan ke Renita. Dia bilang mau pulang ke kampung karena sudah 25 tahun tidak pernah bertemu orang tuanya,” kata Tonny yang mengawali karirnya sebagai periset visual untuk sejumlah film besutan Garin Nugroho, seperti Bulan Tertusuk Ilalang, Puisi Tak Terkuburkan, dan Daun di Atas Bantal.

Kepulangan Renita yang tak terduga oleh keluarga besarnya, karena putus kontak sejak Renita kabur dari rumah, menimbulkan kejutan-kejutan yang tak pernah diprediksi. Tonny yang mengantar Renita dari Jakarta merekam semua kekacauan itu dan jadilah satu film dokumenter lagi yang berjudul Mangga Golek Matang di Atas Pohon (2012).

Menurut Tonny, Renita dan sebagian transgender lain terjerumus ke dunia hitam akibat ruang gerak mereka dibatasi oleh sempitnya cara pandang masyarakat yang terpengaruh framing media. Sejak kecil para transgender sudah mengalami perisakan yang luar biasa sehingga terpaksa putus sekolah.

“Otomatis mereka hanya dapat mengakses pekerjaan yang tidak membutuhkan skill banyak. Kita yang menjadikan mereka seperti itu. Apa ada transgender yang jadi tentara,” kata Tonny yang kini sedang mengerjakan dua film dokumenter Nur (tentang pesantren waria di Jogja) dan Bissu (tentang pemuka agama transgender di Bone) yang ditargetkan selesai pada 2018.

Dengan membuat film dokumenter tentang transgender, Tonny berharap masyarakat memiliki sudut pandang yang lain dalam menilai kehidupan mereka yang selama ini termarjinalkan. “Saya ingin menunjukkan bahwa dunia mereka tidak sesederhana anggapan kita. Persoalan mereka sangat komplek, punya pengalaman yang keras dan pahit. Kehidupan mereka yang tidak pernah tersentuh dan orang tidak pernah melihat itu,” kata dosen tamu sinematografi di sejumlah universitas ternama itu.

Tagged
Different Themes
Written by Templateify

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar

Recent