sumber foto: rumahdokumenter.com |
KLATEN – Piala berwarna keemasan
itu baru diambil Tonny Trimarsanto setelah saya meminta dia berpose bersama
simbol kemenangannya di ajang penghargaan film tertinggi di Indonesia tersebut.
Sebelumnya, selama wawancara berlangsung sekitar satu jam, tidak sedikit pun
Tonny menyinggung piala yang menjadi impian para sineas di tanah air itu.
Saat sesi pemotretan, raut
wajahnya menunjukkan ekspresi datar ketika menimang piala itu. Seperti tak
tersirat rasa bangga pada lelaki 47 tahun itu meski karyanya, Bulu Mata, baru
terpilih sebagai pemenang Piala Citra kategori film dokumenter panjang terbaik dalam
penganugerahan Festival Film Indonesia (FFI) 2017 di Manado, Sulawesi Utara,
pada Sabtu, 11 November 2017.
“Karena (piala) ini saya khawatir
film Bulu Mata jadi tambah terkenal dan sampai ke Aceh,” kata Tonny saat saya
bertandang ke Rumah Dokumenter di komplek Perumahan Griya Prima, Kecamatan
Klaten Utara, Kabupaten Klaten, pada Selasa malam, 14 November 2017.
Rumah Dokumenter adalah sebutan
untuk tempat tinggal Tonny bersama istri dan tiga anaknya. Di rumah berdesain
unik tersebut, yang memadukan arsitektur Jawa berupa pendopo luas untuk ruang
depan dan gaya modern-minimalis di ruang tengah dan belakang, Tonny menggembleng
para sineas muda dari berbagai daerah yang berminat menekuni film dokumenter
tanpa memungut biaya.
Pada 2015, Rumah Dokumenter
bekerja sama dengan Suarakita membuat film dokumenter untuk mengkampanyekan
hak-hak kaum minoritas. Suarakita adalah salah satu organisasi dari Jakarta
yang aktif menyuarakan perlindungan hak-hak LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender).
Film yang dikerjakan Tonny selama
1,5 tahun itu diberi judul Bulu Mata. Film yang diedarkan secara terbatas sejak
2016 itu merekam keseharian tujuh transgender dari Kabupaten Bireun, Aceh,
dalam mempertahankan eksistensi sekaligus memperjuangkan hak mereka sebagai
manusia merdeka di tengah sistem masyarakat yang diatur ketat oleh norma agama.
Pada malam penganugerahan
Festival Film Indonesia (FFI) 2017, film berdurasi 61 menit itu berhasil
menyisihkan lima film lain yang masuk nominasi kategori film dokumenter panjang
terbaik, salah satunya film Banda: The Dark Forgotten Trail karya Jay Subyakto.
Saat mendapat tawaran membuat
film dokumenter bersama Suarakita, Tonny mengatakan, ide awalnya langsung
tertuju pada pesantren waria di Jogja. Dekatnya jarak antara Klaten dan Jogja
menjadi salah satu pertimbangan dia mengingat terbatasnya dana yang tersedia.
Sutradara film dokumenter yang
karya-karyanya telah malang melintang di festival film internasional itu
mengaku telah melakukan serangkaian riset materi visual di Jogja. “Tapi
akhirnya kami putuskan membuat film di luar Jawa. Karena persoalan identitas di
Jawa sudah selesai. Mau jadi waria atau apa saja terserah. Tapi tidak demikian
di luar Jawa,” kata Tonny.
Singkat cerita, Aceh dipilih
sebagai lokasi pembuatan film yang bertujuan untuk mengikis stigma buruk yang
selama ini melekat dalam kehidupan kaum transgender. Sebab, Aceh dikenal sebagai
daerah yang cukup keras dalam membatasi ruang gerak mereka. Di Aceh, Tonny sebelumnya
juga pernah membuat film dokumenter panjang yang berjudul Serambi (2006).
Dengan harapan lebih mudah
menemukan komunitas transgender di pusat kota, Tonny mengawali risetnya di
Banda Aceh. “Ternyata transgender di Banda Aceh berasal dari berbagai
kabupaten. Artinya, mereka susah untuk dikoordinir secara film,” kata Tonny.
Berbekal hasil riset serta
informasi dari jaringan Suarakita, Tonny pun berpindah ke Bireun. Di kabupaten
yang berjarak tempuh sekitar 4 - 5 jam dari Banda Aceh itu, dia berjumpa dengan
komunitas transgender yang lebih solid. Komunitas itu terdiri dari tujuh orang.
Mereka tinggal di sebuah rumah sekaligus salon kecantikan yang dikelola
bersama.
Tujuh transgender dari berbagai desa
di Bireun itu rata-rata memiliki pengalaman pahit yang sama, yaitu kerap
mendapat perlakuan buruk dari keluarganya sejak kecil. Mereka dianggap
menyimpang dari kodrat karena terlahir dalam fisik laki-laki namun
kepribadiannya lebih cenderung perempuan.
Bagi Tonny, proses membuat film
Bulu Mata lebih mudah jika dibandingkan dengan film Renita, Renita. Sebab, dia
tinggal memanfaatkan jaringan Suarakita yang sudah terbentuk di Aceh. “Renita,
Renita itu film pertama saya tentang LGBT. Tidak ada NGO yang terlibat. Jadi
saya harus menembus komunitas mereka sendiri, mencari sendiri karakter yang mau
diajak membuat film,” kata Tonny.
Meski dimudahkan oleh jaringan
Suarakita, Tonny tetap membutuhkan riset selama setahun sebelum memulai proses
produksi film yang berlangsung sekitar enam bulan. “Selama 1,5 tahun saya
bolak-balik, Bireun - Klaten. Di Bireun tiga pekan, pulang. Besok kesana lagi,”
kata Tonny. Di Bireun, Tonny menumpang menginap di rumah salon komunitas
transgender itu.
Menurut Tonny, para transgender
itu hidup normal seperti orang pada umumnya. Mereka selalu aktif bersosialisasi
dengan warga sekitar. Bahkan, salon kecantikan mereka terbilang lebih laris
dibandingkan salon lain yang memperjakan wanita. “Penghasilan mereka rata-rata
Rp 20 juta per bulan,” kata Tonny.
*
Jangan dibayangkan proses
pembuatan film dokumenter Bulu Mata itu melibatkan banyak kru layaknya produksi
film fiksi. Karena keterbatasan dana, seluruh proses pembuatan film dikerjakan
Tonny seorang diri. “Saya shooting
sendiri, bawa lampu sendiri, nge-sound
sendiri, tinggal di sana sendiri. Karena tidak ada uang saja. Konsepnya kan sharing (dana) dengan teman-teman
Suarakita. Kalau ada uang mending saya bayar kameraman, soundman, dan
lain-lain,” kata Tonny sambil tertawa.
Selain menghemat dana, Tonny
berujar, penggunaan piranti yang simpel menjadi salah satu kunci sukses dalam
pembuatan film dokumenter. “Saya cuma pakai satu kamera SLR Canon 5D dan satu
kamera Go Pro untuk standby. Orang
sekarang sudah tidak risih dengan kamera, apalagi cuma kamera foto. Tapi kalau
pakai kamera video yang gede malah repot,” ujar Tonny.
Dengan kamera SLR, Tonny menjadi
leluasa bergerak selama mengikuti kegiatan para transgender itu di tengah
masyarakat. Seperti tak mempedulikan kehadiran Tonny dan kameranya, beberapa
orang tak canggung mencemooh Jeihan dan Dilla (bukan nama sebenarnya) saat
berbelanja di pasar tradisional.
Seolah kebal dengan kekerasan
verbal yang hampir selalu melekat di sepanjang perjalanan hidup mereka, dua transgender
muda berambut panjang dengan riasan tebal itu memilih diam. Mereka terus
berjalan dan tak henti menyunggingkan senyum.
Namun, tidak sedikit pula
pedagang yang melayani dengan baik tanpa memandang jijik pada dua transgender
yang mengenakan kaos, celana panjang ketat, dan selendang pengganti jilbab itu.
Ada juga seorang perempuan paruh baya yang mengenal keduanya dan meluangkan
waktu sejenak untuk sekadar menanyakan kabar. Kisah tersebut menjadi pembuka
film Bulu Mata yang diputarkan Tonny secara khusus untuk Tempo di komputer ruang kerjanya.
Meski kaum transgender rentan
mengalami diskriminasi di Aceh, Tonny mengklaim tidak mengalami kendala yang
berarti selama membuat film Bulu Mata. Selama 1,5 tahun di Bireun, dia tidak
pernah bertemu dengan polisi syariah.
“Saya shooting di sana aman-aman
saja. Aceh tidak seperti yang kita bayangkan. Di sana sebenarnya sama seperti
kota-kota lain di Indonesia,” kata Tonny.
Kendati demikian, Tonny mengaku
tercekat setelah mendengar adanya peraturan baru di Bireun yang melarang hal
ihwal transgender dan salon kecantikan. Peraturan itu tiba-tiba muncul saat
proses produksi film Bulu Mata hampir rampung pada awal 2016.
Peraturan tersebut, kata Tonny,
pada intinya melarang salon mempekerjakan transgender dan perempuan tidak boleh
ke salon yang dikelola transgender. Peraturan yang semakin mengekang ruang
gerak transgender dalam mencari penghidupan yang layak itu menjadi salah satu
alasan Tonny untuk tidak akan pernah memutar atau mengizinkan film Bulu Mata
diputar di Aceh.
“Demi keamanan narasumber saya. Itu etika saya
sebagai pembuat film dokumenter untuk melindungi mereka,” kata Tonny. Bahkan,
dia berencana segera menghapus trailer film Bulu Mata yang diunggah di Youtube
meski penontonnya masih bisa dihitung dengan jari.
0 komentar