google-site-verification: google81f2ee356101f507.html Piala Citra Yang Membuat Tonny Gelisah - Buruh Nulis
Open top menu
Jumat, 11 Januari 2019

sumber foto: rumahdokumenter.com


KLATEN – Piala berwarna keemasan itu baru diambil Tonny Trimarsanto setelah saya meminta dia berpose bersama simbol kemenangannya di ajang penghargaan film tertinggi di Indonesia tersebut. Sebelumnya, selama wawancara berlangsung sekitar satu jam, tidak sedikit pun Tonny menyinggung piala yang menjadi impian para sineas di tanah air itu.

Saat sesi pemotretan, raut wajahnya menunjukkan ekspresi datar ketika menimang piala itu. Seperti tak tersirat rasa bangga pada lelaki 47 tahun itu meski karyanya, Bulu Mata, baru terpilih sebagai pemenang Piala Citra kategori film dokumenter panjang terbaik dalam penganugerahan Festival Film Indonesia (FFI) 2017 di Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu, 11 November 2017.

“Karena (piala) ini saya khawatir film Bulu Mata jadi tambah terkenal dan sampai ke Aceh,” kata Tonny saat saya bertandang ke Rumah Dokumenter di komplek Perumahan Griya Prima, Kecamatan Klaten Utara, Kabupaten Klaten, pada Selasa malam, 14 November 2017.

Rumah Dokumenter adalah sebutan untuk tempat tinggal Tonny bersama istri dan tiga anaknya. Di rumah berdesain unik tersebut, yang memadukan arsitektur Jawa berupa pendopo luas untuk ruang depan dan gaya modern-minimalis di ruang tengah dan belakang, Tonny menggembleng para sineas muda dari berbagai daerah yang berminat menekuni film dokumenter tanpa memungut biaya.

Pada 2015, Rumah Dokumenter bekerja sama dengan Suarakita membuat film dokumenter untuk mengkampanyekan hak-hak kaum minoritas. Suarakita adalah salah satu organisasi dari Jakarta yang aktif menyuarakan perlindungan hak-hak LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).

Film yang dikerjakan Tonny selama 1,5 tahun itu diberi judul Bulu Mata. Film yang diedarkan secara terbatas sejak 2016 itu merekam keseharian tujuh transgender dari Kabupaten Bireun, Aceh, dalam mempertahankan eksistensi sekaligus memperjuangkan hak mereka sebagai manusia merdeka di tengah sistem masyarakat yang diatur ketat oleh norma agama.

Pada malam penganugerahan Festival Film Indonesia (FFI) 2017, film berdurasi 61 menit itu berhasil menyisihkan lima film lain yang masuk nominasi kategori film dokumenter panjang terbaik, salah satunya film Banda: The Dark Forgotten Trail karya Jay Subyakto.

Saat mendapat tawaran membuat film dokumenter bersama Suarakita, Tonny mengatakan, ide awalnya langsung tertuju pada pesantren waria di Jogja. Dekatnya jarak antara Klaten dan Jogja menjadi salah satu pertimbangan dia mengingat terbatasnya dana yang tersedia.

Sutradara film dokumenter yang karya-karyanya telah malang melintang di festival film internasional itu mengaku telah melakukan serangkaian riset materi visual di Jogja. “Tapi akhirnya kami putuskan membuat film di luar Jawa. Karena persoalan identitas di Jawa sudah selesai. Mau jadi waria atau apa saja terserah. Tapi tidak demikian di luar Jawa,” kata Tonny.

Singkat cerita, Aceh dipilih sebagai lokasi pembuatan film yang bertujuan untuk mengikis stigma buruk yang selama ini melekat dalam kehidupan kaum transgender. Sebab, Aceh dikenal sebagai daerah yang cukup keras dalam membatasi ruang gerak mereka. Di Aceh, Tonny sebelumnya juga pernah membuat film dokumenter panjang yang berjudul Serambi (2006).

Dengan harapan lebih mudah menemukan komunitas transgender di pusat kota, Tonny mengawali risetnya di Banda Aceh. “Ternyata transgender di Banda Aceh berasal dari berbagai kabupaten. Artinya, mereka susah untuk dikoordinir secara film,” kata Tonny.

Berbekal hasil riset serta informasi dari jaringan Suarakita, Tonny pun berpindah ke Bireun. Di kabupaten yang berjarak tempuh sekitar 4 - 5 jam dari Banda Aceh itu, dia berjumpa dengan komunitas transgender yang lebih solid. Komunitas itu terdiri dari tujuh orang. Mereka tinggal di sebuah rumah sekaligus salon kecantikan yang dikelola bersama.

Tujuh transgender dari berbagai desa di Bireun itu rata-rata memiliki pengalaman pahit yang sama, yaitu kerap mendapat perlakuan buruk dari keluarganya sejak kecil. Mereka dianggap menyimpang dari kodrat karena terlahir dalam fisik laki-laki namun kepribadiannya lebih cenderung perempuan.

Bagi Tonny, proses membuat film Bulu Mata lebih mudah jika dibandingkan dengan film Renita, Renita. Sebab, dia tinggal memanfaatkan jaringan Suarakita yang sudah terbentuk di Aceh. “Renita, Renita itu film pertama saya tentang LGBT. Tidak ada NGO yang terlibat. Jadi saya harus menembus komunitas mereka sendiri, mencari sendiri karakter yang mau diajak membuat film,” kata Tonny.

Meski dimudahkan oleh jaringan Suarakita, Tonny tetap membutuhkan riset selama setahun sebelum memulai proses produksi film yang berlangsung sekitar enam bulan. “Selama 1,5 tahun saya bolak-balik, Bireun - Klaten. Di Bireun tiga pekan, pulang. Besok kesana lagi,” kata Tonny. Di Bireun, Tonny menumpang menginap di rumah salon komunitas transgender itu.

Menurut Tonny, para transgender itu hidup normal seperti orang pada umumnya. Mereka selalu aktif bersosialisasi dengan warga sekitar. Bahkan, salon kecantikan mereka terbilang lebih laris dibandingkan salon lain yang memperjakan wanita. “Penghasilan mereka rata-rata Rp 20 juta per bulan,” kata Tonny.

*

Jangan dibayangkan proses pembuatan film dokumenter Bulu Mata itu melibatkan banyak kru layaknya produksi film fiksi. Karena keterbatasan dana, seluruh proses pembuatan film dikerjakan Tonny seorang diri. “Saya shooting sendiri, bawa lampu sendiri, nge-sound sendiri, tinggal di sana sendiri. Karena tidak ada uang saja. Konsepnya kan sharing (dana) dengan teman-teman Suarakita. Kalau ada uang mending saya bayar kameraman, soundman, dan lain-lain,” kata Tonny sambil tertawa.

Selain menghemat dana, Tonny berujar, penggunaan piranti yang simpel menjadi salah satu kunci sukses dalam pembuatan film dokumenter. “Saya cuma pakai satu kamera SLR Canon 5D dan satu kamera Go Pro untuk standby. Orang sekarang sudah tidak risih dengan kamera, apalagi cuma kamera foto. Tapi kalau pakai kamera video yang gede malah repot,” ujar Tonny.

Dengan kamera SLR, Tonny menjadi leluasa bergerak selama mengikuti kegiatan para transgender itu di tengah masyarakat. Seperti tak mempedulikan kehadiran Tonny dan kameranya, beberapa orang tak canggung mencemooh Jeihan dan Dilla (bukan nama sebenarnya) saat berbelanja di pasar tradisional.

Seolah kebal dengan kekerasan verbal yang hampir selalu melekat di sepanjang perjalanan hidup mereka, dua transgender muda berambut panjang dengan riasan tebal itu memilih diam. Mereka terus berjalan dan tak henti menyunggingkan senyum.

Namun, tidak sedikit pula pedagang yang melayani dengan baik tanpa memandang jijik pada dua transgender yang mengenakan kaos, celana panjang ketat, dan selendang pengganti jilbab itu. Ada juga seorang perempuan paruh baya yang mengenal keduanya dan meluangkan waktu sejenak untuk sekadar menanyakan kabar. Kisah tersebut menjadi pembuka film Bulu Mata yang diputarkan Tonny secara khusus untuk Tempo di komputer ruang kerjanya.

Meski kaum transgender rentan mengalami diskriminasi di Aceh, Tonny mengklaim tidak mengalami kendala yang berarti selama membuat film Bulu Mata. Selama 1,5 tahun di Bireun, dia tidak pernah bertemu dengan polisi syariah. “Saya shooting di sana aman-aman saja. Aceh tidak seperti yang kita bayangkan. Di sana sebenarnya sama seperti kota-kota lain di Indonesia,” kata Tonny.

Kendati demikian, Tonny mengaku tercekat setelah mendengar adanya peraturan baru di Bireun yang melarang hal ihwal transgender dan salon kecantikan. Peraturan itu tiba-tiba muncul saat proses produksi film Bulu Mata hampir rampung pada awal 2016.

Peraturan tersebut, kata Tonny, pada intinya melarang salon mempekerjakan transgender dan perempuan tidak boleh ke salon yang dikelola transgender. Peraturan yang semakin mengekang ruang gerak transgender dalam mencari penghidupan yang layak itu menjadi salah satu alasan Tonny untuk tidak akan pernah memutar atau mengizinkan film Bulu Mata diputar di Aceh.

“Demi keamanan narasumber saya. Itu etika saya sebagai pembuat film dokumenter untuk melindungi mereka,” kata Tonny. Bahkan, dia berencana segera menghapus trailer film Bulu Mata yang diunggah di Youtube meski penontonnya masih bisa dihitung dengan jari.

Tagged
Different Themes
Written by Templateify

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar

Recent